Perayaan Natal dan Budaya Syirik
Oleh: Dr. Ilham Kadir, MA
Akhir Desember tiba, para ulama dan supaha' kembali berpolemik, boleh tidaknya mengucapkan "Selamat Hari Natal" kepada penganut agama Kristen yang meyakini bahwa tuhan mereka, Yesus lahir pada tanggal 25 Desember.
Kelahiran Yesus itulah yang selalu membawa perdebatan, baik dalam kalangan teolog Kristen sendiri apalagi umat Islam yang hanya percaya bahwa Yesus tidak lebih dari manusia biasa yang dikenal dengan nama Isa binti Maryam, diberi wahyu oleh Allah untuk menjadi Nabi dan Rasul.
Karena itu, dalam perspektif Islam, Yesus tidak sepatutnya diperingati kelahirannya, sebab, Tuhan itu tidak beranak dan tidak pula diperanakkan (lam yalid wa lam yulad). Demikian pula, dari segi rasionalitas, tuhan Yesus sangat susah dicerna, sebab digambarkan menjadi tiga jenis yang berbeda. Roh kudus, tuhan bapak, dan tuhan anak. Kadang anak menjelma menjadi bapak, di lain waktu menjadi roh kudus, dan pada saat yang lain menjadi anak. Sangat tidak rasional, tukang pembuat meja, sewaktu-waktu menjelma menjadi meja, dan lain waktu menjelma menjadi roh. Begitulah Islam memandang Yesus. Dan karena itu pula, umat Islam sampai kapan pun tidak akan dapat menerima penuhanan Yesus.
Walau pun demikian, wajib bagi umat Islam untuk tetap bermuamalat dengan baik kepada umat Kristiani. Dan tetap melakukan interaksi sosial non keagamaan sebagaimana sepantasnya. Tidak memerangi, selama mereka tidak menganggu ketentraman. Dalam soal agama dan akidah boleh beda, namun persaudaraan antarsesama umat manusia tetap rukun dan harmonis. Dalam konteks kebangsaan, kita berada dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
***
Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang paling otoritatif di Indonesia dalam menentukan halal dan haram sebuah masalah sosial keagamaan pernah menerbitkan fatwa tentang Natal pada 1981. Meski titik tekan fatwa pada perayaan natal bersama, MUI juga membahas secara umum tentang batasan bermuamalah dengan non-Muslim dan hal-sal syubhat seputar natal.
Pada poin pertama 'Fatwa Natal' dijelaskan bahwa umat Islam diperbolehkan bekerja sama dan bergaul dengan umat agama lain. Catatannya, kerja sama yang dilakukan dalam masalah yang berhubungan dengan keduniaan. Dasarnya adalah Al-Qur'an surah Mumtahanah ayat ke-8, bahwa Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.
Umat Islam secara jelas juga dilarang mencampur-adukkan akidah dan peribadatan agamanya dengan akidah agama lain. Dan janganlah campuradukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahuinya, (QS. Al-Baqarah: 42).
Natal jelas menjadi peribadatan agama lain. Di dalamnya ada ibadah-ibadah yang dilakukan. MUI secara eksplisit memang tidak mengatur detail tentang hukum mengucapkan selamat Natal. Namun, hal-hal umum yang berkaitan dengan Natal diatur dalam poin keenam dari Fatwa MUI 1981itu. MUI menjelaskan dengan dasar tersebut maka mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. MUI lalu menganjurkan agar umat Islam tidak mengikuti kegiatan-kegiatan natal.
Ada pun Majelis Tarjih Muhammadiyah merujuk ke fatwa MUI saat ditanya tentang hukum mengucapkan selamat Natal. Dewan Fatwa Resmi Muhammadiyah itu berpandangan, hukum mengucapkan selamat Natal masuk dalam kriteria poin agar umat Islam tidak terjerumus ke dalam hal yang syubhat seputar Natal. Oleh karena itu, lebih baik dihindari.
Nahdatul Ulama (NU) memiliki persepsi lain tentang ucapan selamat Natal pada penganut agama Kristen. Organisasi terbesar umat Islam ini berpandangan mengucapkan selamat Nalat boleh saja dengan syarat-syarat yang ketat. Seperti, hanya tujuan basa-basi (mujamalah zhahiriyah) yang tidak ada keyakinan rasa dalam hati dalam konteks ucapan tersebut, hanya dengan maksud sebagai bagian dari tenggan rasa.
NU berpedoman pada dalil, Manusia itu umat yang satu, setelah timbul perselisihan, maka Allah mengutus para Nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, (QS. Al-Baqarah: 213).
Ada pun dari dalil Sunnah, NU, dalam melakukan muamalat antarsesama manusia berpedoman pada riwayat Muslim bahwa Nabi bersabda, Janganlah kamu memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani, dan bila kamu berjumpa dengan mereka di jalan maka desaklah mereka ke tempat lain yang lebih sempit."
Melalui hadis ini, NU mengambil qiyas dalam kehidupan sehari-hari. Maknanya, setiap muslim seharusnya menyediakan ruang sosial yang disediakan untuk non-Muslim lebih sempit dibandingkan ruang sosial yang disediakan untuk sesama Muslim. Ruang itu pun harus jelas batasannya, Imam Nawawi rahumahullah dalam "Tafsir Munir" menjelaskan bahwa penghormatan itu hanya boleh dilakukan dalam batas urusan duniawi saja. Itu pun harus disertai dengan keyakinan bahwa hanya Islamlah agama yang paling benar.
Walaupun NU tidak setegas MUI dan Muhammadiayh dalam menyikapi ucapan Selamat Natal, namun jika ditinjau dari persepktif teologis, nampaknya perayaan Natal sangat berpeluang menjerumuskan pelakunya dalam kesyirikan karena dapat menjadi sebuah pengakuan bahwa tuhan Yesus benar-benar lahir pada tanggal 25 Desember, padahal belum ada fakta sejarah dan empiris yang mengungkap dengan pasti kebenaran itu dan tidak dapat pula dimengerti mengapa tuhan dapat dilahirkan seperti manusia biasa.
Sangat tepat apa yang difatwakan Ibnul Qayyem al-Jauziyah dalam "Ahkam Ahluz Dzimmah", Ucapan terhadap ritual kekufuran haram hukumnya. Seperti ucapan selamat atas hari raya dan puasa mereka. Sekalipun pelakunya terhindar dari penyimpangan akidah, tetap saja ucapannya dihukumi haram.
Bersikap toleran tidak harus mengorbankan akidah dengan mengakui kebenaran agama lain. Yang benar adalah, mengakui eksistensi agama lain tanpa mengakui kebenarannya. Tidak ada untungnya umat Islam mengucapkan selamat Natal, dan tidak ada ruginya pula penganut agama Kristen jika tidak diucapkan 'Selamat Hari Natal' kepada mereka. Selama ini, Islam dan Kristen di Indonesia hidup rukun kendati tanpa ucapan selamat Natal, dan kita umat Islam tidak usah diajari toleran dengan bangsa lain, apalagi Barat lebih khusus Amerika yang hingga saat ini mash berlaku tidak toleran terhadap agama Islam.
Di Indonesia hari raya Natal adalah hari libur, sedangkan Eropa dan Amerika tidak menjadikan Hari Raya Islam sebagai hari libur. Indonesia, kendati selalu dipimpin oleh Presiden dan Wapres muslim, tapi menteri dan kepala daerahnya banyak yang non-Muslim. Kita adalah model negara paling noleran di dunia.
Maka, hidup rukun tidak mesti mengorbankan agama dengan mengucapkan selamat Natal atau menggunakan atribut Natal yang sesungguhnya sangat dekat dengan budaya syirik. Wallahu A'lam!
http://www.ilhamkadir.com/
0 Response to "Perayaan Natal dan Budaya Syirik"
Post a Comment