'

Selamat Datang di Website Resmi Muhammad Akbar bin Zaid “Assalamu Alaikum Warahmtullahi Wabarakatu” Blog ini merupakan blog personal yg dibuat & dikembangkan oleh Muhammad Akbar bin Zaid, Deskripsinya adalah "Referensi Ilmu Agama, Inspirasi, Motivasi, Pendidikan, Moralitas & Karya" merupakan kesimpulan dari sekian banyak kategori yang ada di dalam blog ini. Bagi pengunjung yang ingin memberikan saran, coretan & kritikan bisa di torehkan pada area komentar atau lewat e-mail ini & bisa juga berteman lewat Facebook. Terimah Kasih Telah Berkunjung – وَالسٌلام عَلَيْكُم
Peran Masjid Dalam Membangun Ukhuwah*

Peran Masjid Dalam Membangun Ukhuwah*

Oleh: Ustadz Muhammad Ode Wahyu, SH.

Ukhuwah islamiyah merupakan pondasi dalam membangun ummat yang kuat. Dengannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah membentuk pemerintahan islam yang kuat sehingga mampu menaklukkan beberapa negeri adidaya saat itu. Umat Islam saat ini tidak akan mampu kembali jaya seperti dahulu kecuali dengan cara kambali menempuh jalan yang pernah ditempuh orang-orang terdahulu. Sungguh umat islam memang sangat butuh ukhuwah, khususnya di zaman ini ketika perselisihan dan perpecahan begitu sering terjadi di tubuh kaum muslimin.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membangun peradaban baru di Madinah di mulai dengan mengukhuwahkan (mempersaudarakan) kaum muhajir dan anshar, setelah itu beliau membangun masjid Nabawi sebagai tempat shalat, musyawarah, latihan perang dan lainnya.

Pada dasarnya masjid memiliki peran yang cukup besar dalam membangun ukhuwah islamiyah, sebab ia merupakan tempat berkumpulnya manusia untuk melaksanakan shalat secara berjama’ah. Hanya saja keberadaannya kini tidak terlalu dipahami fungsinya oleh kaum muslimin, sehingga mereka hanya menjadikannya sebagai tempat shalat saja, tidak untuk yang lain. Ketidak pahaman kaum muslimin akan peran masjid dalam membangun ukhuwah juga dapat terlihat ketika pelaksanaan shalat berjama’ah. Perasaan sensitif berlebihan dan ego kadang menjadi hal yang merenggangkan ukhuwah. Hal itu terlihat dari ketidak rapian shaf dalam shalat, posisi yang renggang, tidak rapat, bahkan jaraknya saling berjauhan. Inilah diantara penyebab terkikisnya rasa ukhuwah di tubuh kaum muslimin.

Abi Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ: اسْتَوُوا وَلاَ تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ

“Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap pundak-pundak kami ketika hendak shalat lalu bersabda, “Luruskan shaf-shaf kalian dan jangan berselisih sehingga hati kalian akan selalu saling berselisih”. (HR. Muslim)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:

لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ ، أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ

“Lurus dan rapatkanlah shaf-shaf kalian, atau Allah akan membuat kalian saling berselisih”. (HR. Bukhari dan Muslim)

Lurus dan rapatnya shaf bukanlah perkara remeh, sebab dengannya Allah menguatkan persaudaraan kaum muslimin. Ancaman Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada orang-orang yang tidak mau merapatkan shaf kini terbukti, kaum muslimin begitu mudah berselisih dan berpecah belah.

Jika saja kaum muslimin sungguh-sungguh menjadikan masjid sebagai tempat shalat berjama’ah, niscaya ukhuwah kaum muslimin akan semakin kuat. Sebab dari masjid itulah kaum muslimin akan biasa bertemu, saling bertegur sapa dan mengucapkan salam. Hal-hal yang kelihatannya remeh seperti ini justru jika dilakukan terus menerus akan meningkatkan rasa cinta sesama muslim, sehingga rasa ukhuwah semakin kental terasa. Seharusnya masjid memang menjadi tempat shalat berjama’ah, dan tidak dilakukan di rumah masing-masing. Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengibaratkan orang-orang yang tidak datang shalat berjama’ah di masjid sebagai orang munafik yang hendak dibakar rumahnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ أَثْقَلَ صَلاَةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلاَةُ الْعِشَاءِ وَصَلاَةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً فَيُصَلِّىَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِى بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُونَ الصَّلاَةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh (secara berjama’ah). Andaikan saja mereka mengetahui pahala yang terdapat pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya walau dalam keadaan merayap. Sungguh!! Aku sangat ingin agar shalat segera didirikan kemudian aku perintahkan seseorang untuk mengimami manusia shalat, dan aku bersama beberapa orang yang membawa beberapa ikat kayu bakar, pergi ke rumah-rumah manusia yang tidak shalat berjama’ah lalu membakar rumah-rumah mereka”. (HR. Muslim)

Memaksimalkan fungsi masjid demi terbangunnya ukhuwah yang kuat amat penting, karena itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak menjadikan masjid sebagai tempat shalat saja, tapi juga mengizinkan kepada para sahabatnya untuk berlatih perang di dalamnya yang memiliki maslahat besar bagi umat.

Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menutupku dengan kain sementara aku melihat orang-orang Habasyah sedang bermain pedang di dalam masjid”. (HR. Bukhari dan Muslim.)

Syiakh Abdullah Ibn Abdirrahman al-Bassam rahimahullah berkata: “Islam toleran pada perkara-perkara yang memiliki tujuan yang jelas seperti itu, maka diizinkan bagi mereka untuk melakukannya di masjid Nabawi yang mulia”. (Taudhihul Ahkam: 1/396)

Melakukan latihan apa saja yang memliki maslahat untuk umat di dalam masjid atau melakukan amalan yang dapat menguatkan rasa persaudaraan sesama muslim dibolehkan, selama tidak melanggar aturan-aturan syar’i. Diantara amalan yang dapat menguatkan rasa persaudaraan itu ialah menajdikan masjid sebagai tempat mabit (bermalam) untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat seperti qiyamul lail. Perbuatan-perbuatan seperti ini akan menguatkan rasa persaudaraan dan cinta pada kebaikan, serta bukanlah perbuatan haram ataupun makruh.

Imam an-Nawawi rahimahullah berkata: “Diperbolehkan tidur di dalam masjid dan hal itu bukanlah perkara makruh dalam pandangan mazhab kami.

“Imam Syafi’i rahimahullah dan sahabat-sahabat kami berhujjah akan ketidakmakruhannya dengan hadits yang tsabit disebutkan dalam kitab shahihain dari Abdullah Ibn Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa dia berkata, “Dahulu aku tidur di masjid, saat itu aku seorang pemuda yang belum nikah,” juga telah tsabit bahwasanya para ahli shuffah dahulu tidurnya di dalam masjid”. (Al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab: 2/173).[].
➡ *Sumber* 👉🏼 http://wahdah.or.id/peran-masjid-dalam-membangun-ukhuwah/

➡ Mohon ketika menyebarkan, harap sertakan sumbernya dan *jgn dihapus* 🙏🏼
💖 Silahkan SEBARKAN dan semoga Allah memberikan PAHALA atas berbagi ilmu ini
📖 Dapatkan artikel islami lainya di 👉 http://wahdah.or.id/

💖 Daftar Broadcast Wahdah.Or.Id
Ketik nama lengkap - daerah - wi
Contoh:
Irhamullah - Yogyakarta - WI
Kirim via WhatsApp ke:
📱 +6281383787678

👍 Facebook s.id/FBWahdah
📲 Instagram s.id/InstagramWahdah
📩 Telegram s.id/TelegramWahdah
🐣 Twitter s.id/TwitterWahdah
🌐 www.wahdah.or.id
Read More
Gempa Dan Sikap Para Khalifah

Gempa Dan Sikap Para Khalifah

Suatu kali di Madinah terjadi gempa bumi. Rasulullah SAW lalu meletakkan kedua tangannya di atas tanah dan berkata, "Tenanglah … belum datang saatnya bagimu.'' Lalu, Nabi SAW menoleh ke arah para sahabat dan berkata, _"Sesungguhnya Rabb kalian menegur kalian … maka jawablah (buatlah Allah ridha kepada kalian)!"_

Sepertinya, Umar bin Khattab RA mengingat kejadian itu. Ketika terjadi gempa pada masa kekhalifahannya, ia berkata kepada penduduk Madinah, _"Wahai Manusia, apa ini? Alangkah cepatnya apa yang kalian kerjakan (dari maksiat kepada Allah)? Andai kata gempa ini kembali terjadi, aku tak akan bersama kalian lagi!"_

Seorang dengan ketajaman mata bashirah seperti Umar bin Khattab bisa, merasakan bahwa kemaksiatan yang dilakukan oleh para penduduk Madinah, sepeninggal Rasulullah dan Abu Bakar As-Shiddiq telah mengundang bencana.
_Meskipun begitu, jangan bandingkan kemaksiatan yg dimaksud di masa itu dengan masa sekarang. Tentu saat ini sudah jauh  jauh jauh sekali di atasnya, baik dalam ragamnya, jumlahnya maupun kualitasnya._

Umar pun mengingatkan kaum Muslimin agar menjauhi maksiat dan segera kembali kepada Allah. Ia bahkan mengancam akan meninggalkan mereka jika terjadi gempa kembali. Sesungguhnya bencana merupakan ayat-ayat Allah untuk menunjukkan kuasa-Nya, jika manusia tak lagi mau peduli terhadap ayat-ayat Allah.

Imam Ibnul Qoyyim dalam kitab Al-Jawab Al-Kafy mengungkapkan, _"Dan terkadang Allah menggetarkan bumi dengan guncangan yang dahsyat, menimbulkan rasa takut, khusyuk, rasa ingin kembali dan tunduk kepada Allah, serta meninggalkan kemaksiatan dan penyesalan atas kekeliruan manusia. Di kalangan Salaf, jika terjadi gempa bumi mereka berkata, 'Sesungguhnya Tuhan sedang menegur kalian'.''_

Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga tak tinggal diam saat terjadi gempa bumi pada masa kepemimpinannya. Ia segera mengirim surat kepada seluruh wali negeri, Amma ba'du, sesungguhnya gempa ini adalah teguran Allah kepada hamba-hamba-Nya, dan saya telah memerintahkan kepada seluruh negeri untuk keluar pada hari tertentu, maka barangsiapa yang memiliki harta hendaklah bersedekah dengannya."

Allah mengingatkan, _'Sungguh beruntunglah orang yang membersihkan diri._
Read More
Memahami dan Menyikapi Perbedaan Secara Islami

Memahami dan Menyikapi Perbedaan Secara Islami


Oleh: Ustadz Muhammad Zaitun Rasmin, Lc., MA. (Ketua Umum Wahdah Islamiyyah)

Dalam tradisi ulama Islam, perbedaan pendapat bukanlah hal yang baru, apalagi dapat dianggap tabu. Tidak terhitung jumlahnya kitab-kitab yang ditulis ulama Islam yang disusun khusus untuk merangkum, mengkaji, membandingkan, kemudian mendiskusikan berbagai pandangan yang berbeda-beda dengan argumentasinya masing-masing.

Dalam bidang hukum Islam, misalnya. Kita bisa melihat kitab Al Mughni karya Imam Ibnu Qudamah. Pada terbitannya yang terakhir, kitab ini dicetak 15 jilid. Kitab ini dapat dianggap sebagai ensiklopedi berbagai pandangan dalam bidang hukum Islam dalam berbagai mazhabnya. Karena Ibnu Qudamah tidak membatasi diri pada empat mazhab yang populer saja. Tapi ia juga merekam pendapat-pendapat ulama lain yang hidup sejak masa sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Contoh ini berlaku pada semua disiplin ilmu Islam yang ada. Tidak terbatas pada ilmu hukum saja, seperti yang umumnya kita kenal, tapi juga pada tafsir, ulumul qur’an, syarh hadits, ulumul hadits, tauhid, usul fiqh, qawa’id fiqhiyah, maqashidus syariah, dan lain-lain.

Penguasaan terhadap perbedaan pendapat ini bahkan menjadi syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid atau ahli dalam ilmu agama.Orang yang tidak memiliki wawasan tentang pandangan-pandangan ulama yang beragam beserta dalilnya masing-masing, dengan begitu, belum dapat disebut ulama yang mumpuni di bidangnya.

Sikap Toleran terhadap Perbedaan Pendapat

Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam, terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap, toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah Al Qur’an dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari siapa pun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah subhanahu wata’ala. Mereka tidak pernah memposisikan pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti.

“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer dari Imam Syafi’i.

Dalam kerangka yang sama, Imam Ahmad bin Hambal pernah berfatwa agar imam hendaknya membaca basmalah dengan suara dikeraskan bila memimpin shalat di Madinah. Fatwa ini bertentangan dengan mazhab Ahmad bin Hambal sendiri yang menyatakan bahwa yang dianjurkan bagi orang yang shalat adalah mengecilkan bacaan basmalahnya. Tapi fatwa tersebut dikeluarkan Ahmad demi menghormati paham ulama-ulama di Madinah, waktu itu, yang memandang sebaliknya. Sebab, menurut ulama-ulama Medinah itu,  orang yang shalat, lebih utama bila ia mengeraskan bacaan basmalahnya.

Khilafiyah dalam Masalah Furu’iyah

Penting untuk segera digarisbawahi bahwa perbedaan pendapat sebagaimana dipaparkan di atas adalah perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah belaka. Atau dalam istilah Umar Sulaiman al Asyqar, dirinci sebagai al khilaf al maqbul dan al khilaf as sa’igh al maqbul.

Contoh-contoh al khilaf al maqbul adalah perbedaan ulama mengenai bentuk manasik yang lebih utama, antara qiran, ifrad dan tamattu’; mengeraskan bacaan basmalah di dalam shalat jahriyah, jumlah takbir yang dianjurkan dalam shalat ‘ied, dan redaksi doa istiftah yang lebih afdhal. Perbedaan ulama dalam masalah-masalah tersebut tidak lebih dari perbedaan yang sifatnya variatif belaka. Sehingga kita dapat memilih yang lebih sesuai dengan keadaan dan kondisi kita masing-masing. Mengamalkan salah satu pendapat dari berbagai pendapat yang ada sama sekali tidak mengurangi nilai sahnya ibadah. Semua ulama sepakat terhadap keabsahan ibadah dengan salah satu bentuk tersebut.

Adapun al khilaf as sa’igh al maqbul,  ialah perbedaan pendapat yang tidak dapat dikompromikan, namun tidak keluar dari ijtihad yang prosedural sesuai dengan medodologi ilmiah yang dikenal ulama.

Perbedaan pendapat tentang najisnya air yang kurang dari dua qullah bila terkena najis sedangkan tidak terjadi perubahan rasa, warna atau bau; hukum mandi jumat, hukum membaca al Fatihah bagi makmum, hukum qunut shubuh, dll. merupakan  contoh-contoh kasus yang dapat dikategorikan dalam bentuk perbedaan pendapat yang kedua ini.

Muhammad bin Husain al Jizani, dalam disertasi doktornya untuk kajian Ushul Fiqh di Universitas Islam Madinah, KSA, yang mengantarnya memperoleh yudisium summa cum laude disertai pengahargaan tingkat I, menulis tentang sikap islami terhadap masalah ijtihad sebagai berikut:

1. Tidak menganggap fasiq, mubtadi’ dan kafir pihak yang berselisih paham;

2. Melakukan dialog yang sehat dengan mengutamakan dalil dan argumentasi;

3. Tidak memaksakan kehendak atau paham kepada pihak lain;

4. Tidak mengklaim kebenaran mutlak berada pada pihaknya.

Namun demikian, patut ditambahkan pula bahwa kendati saling menghormati perbedaan pendapat, ulama-ulama itu tetap sepakat tentang kewajiban untuk selalu merujuk kepada Al Qur’an dan Hadits.

Imam Abu Hanifah menegaskan, “Bila satu hadits dalam satu permasalahan telah shahih, kandungan hadits itulah mazhabku.” Ia juga mengungkapkan, “Tidak halal bagi siapapun untuk menganut pendapat kami bila dia tidak tahu dasar pengambilannya.”

Imam Malik tidak kalah tegasnya. “Aku ini hanyalah manusia biasa,” tukas Malik, “yang bisa benar dan bisa salah. Maka pertimbangkanlah pendapat-pendapatku. Pendapat yang sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah, ambillah. Sedangkan yang tidak sejalan dengan Al Qur’an dan Sunnah, tinggalkan.”

“Setiap masalah yang terdapat Hadits Nabi yang shahih di dalamnya, sesuai dengan pendapat ulama Hadits; yang berlawanan dengan pendapatku, aku ruju’ (kepada Hadits dan meninggalkan pendapatku), baik semasa hidup atau matiku.” Demikian Imam Syafi’i menyatakan sikapnya.

Khilafiyah yang Tercela

Di samping khilafiyah dalam masalah furu’iyah di atas, terdapat pula perbedaan pendapat berikutnya. Perbedaan pendapat ini, masih meminjam istilah al Asyqar, yaitu al khilaf al madzmum (perbedaan pendapat/khilafiyah yang tercela). Yang dimaksud dengan perbedaan pendapat yang tercela seperti pendapat-pendapat atau paham yang berseberangan dengan  pokok-pokok ajaran agama (biasa disebut tsawabit atau ma’lum minad diin bid dharurah atau atau qawathi’ud diin atau ushulud diin).

Paham-paham serta gagasan yang berseberangan dengan pokok-pokok ajaran agama ini tidak jarang dilontarkan secara provokatif dan terkesan menggungat. Gugatan terhadap pokok-pokok ajaran agama ini, secara menyesatkan, biasanya berlindung di bawah slogan pembaruan Islam atau bahkan slogan ijtihad. Walaupun sebenarnya inti dari slogan-slogan itu tidak lebih dari penisbian terhadap segala bentuk kemapanan. Termasuk terhadap ajaran- ajaran agama yang telah tetap serta sangat jelas landasannya, baik itu dari Al Qur’an atau Hadits yang sahih.

Gugatan kepada pokok ajaran agama yang mapan ini umumnya disebut sebagai paham yang nyeleneh. Sebab ia menyelisihi pemahaman yang mendasar dan dianut secara umum oleh umat. Terkait dengan paham nyeleneh ini, menarik untuk menyimak perkataan Ali berikut. Imam Ali berkata, “Akan muncul pada akhir zaman sekelompok manusia yang melontarkan pendapat yang tidak pernah dikenal oleh orang-orang Islam. Mereka mengajak orang lain kepada pendapatnya. Siapa yang mendapati mereka hendaknya menentang, karena penentangan itu akan bernilai pahala di sisi Allah.” (Riwayat al Harawi)

Pernyataan Imam Ali tidak berlebihan. Khalifah sebelumnya, Imam Umar bin Khattab, bahkan telah mengambil tindakan tegas terhadap bentuk penyimpangan semacam itu. Sulaiman bin Yasar bertutur tentang seorang laki-laki yang bernama Shabigh yang datang ke Madinah, ibu kota negara waktu itu. Laki–laki ini gemar melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang berisi keraguan terhadap Al Qur’an di masyarakat. Umar kemudian menghukum Shabigh dengan mendera kepalanya dengan pelepah korma hingga mencucurkan darah dan Shabigh bertobat. (Riwayat ad Darimi)

Sikap terhadap Khilafiyah yang Tercela

Al Khilaf al Madzmum sangat berbeda dengan dua perbedaan pendapat yang sebelumnya. Bila pada khilafiyah dalam masalah furu’ tadi kita menyaksikan toleransi dan penghargaan yang tinggi ulama terhadap pihak yang berbeda pandangan; sebaliknya di sini. Ulama-ulama Islam justru menunjukkan sikap tegas dan tanpa kompromi.

Yahya bin Ya’mar, seorang tabi’in, bercerita bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, seorang ulama besar dari kalangan sahabat, tentang sekte yang mengingkari adanya takdir Allah, dan bahwa manusia memiliki kehendak mutlak terhadap perbuatannya. Jawab Ibnu Umar, “Bila bertemu orang-orang itu sampaikan bahwa Ibnu Umar berlepas diri dari mereka dan mereka pun hendaknya melepaskan diri dari Ibnu Umar. Demi Allah, bila mereka bersedekah dengan emas sebanyak tanah bukit Uhud, Allah tidak akan menerima amalan mereka hingga mereka tobat.” (HR. Muslim)

Ini adalah contoh sikap ulama sahabat, yang diperankan oleh Ibnu Umar, terhadap orang-orang yang seenaknya berbicara tentang rukun iman, menambah atau mengurangi. Tidak jauh berbeda dengan itu adalah upaya mengkaji akidah Islam dengan mengandalkan metode mantiq atau filsafat, atau lebih dikenal dengan ilmu kalam. Imam Syafi’i, yang tadi populer dengan toleransinya terhadap masalah ijtihad, berkata, “Mazhabku terhadap pengikut ilmu kalam adalah dihukum dengan pukulan cambuk di kepalanya dan diusir.”

Al khilaf al madzmum ini, dengan demikian, tidak dihadapi dengan sikap yang toleran. Tapi dengan sikap tegas. Sebab, persoalan-persoalan akidah dan ushulud diin mewakili esensi dan pokok dari ajaran Islam. Persoalan-persoalan tersebut merupakan bagian yang demikian sensitif, krusial serta khas ajaran Islam. Sehingga penodaan terhadap esensi tersebut sama dengan menggugat eksistensi Islam itu sendiri.

Keyakinan atas kebenaran mutlak agama Islam dengan kepercayaan terhadap kesesatan agama-agama lain, adalah ajaran yang sangat fundamental dalam Islam. Sebagaimana juga kesucian Al Qur’an dan kesempurnaannyaserta kedudukan ijma’ (konsensus) ulama sebagai salah satu sumber otentik ajaran Islam. Bila hal-hal yang mendasar seperti ini dipermasalahkan, apalagi yang tersisa dari ajaran Islam?

*) Disampaikan dalam acara Daurah Du’at Pemuda Persis di Ma’had Utsman ibn Affan Jakarta Timur pada hari Sabtu, 28 Desember 2013
Read More
George bin Todzira, Hidayah Datang Saat di Medan Perang

George bin Todzira, Hidayah Datang Saat di Medan Perang


Memang hidayah itu istimewa. Ia mahal dan berharga. Kedudukan dan status sosial bukanlah ukuran mendapatkannya. Gelimang harta bukanlah sarana bisa mendapatkannya. Terkadang, ia pun datang di saat yang tak disangka. Ia datang di saat yang menyerunya mungkin sudah putus asa. Ia datang, kadang di saat musibah. Dan ia datang ketika permusuhan sudah mencapai puncaknya.
Seperti kisah George Todzira. Hidayah datang padanya justru saat ia tengah siap berperang.
George bin Todzira adalah panglima pasukan Bizantium. Di Perang Yarmuk, ia memimpin pasukan Roma, berperang menghadapi umat Islam yang dipimpin oleh Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu. Sebelum pecah pertempuran, terjadi kejadian yang menarik. George berdialog dengan Khalid hingga ia memeluk Islam dan berpindah posisi menjadi pasukan kaum muslimin.
Dalam kondisi demikian, bayangkan apa yang dirasakan pasukan Romawi Bizantium saat itu? Tentu moral pertempuran mereka kaget dan mengendur. Dan pastinya, George adalah orang pertama yang hendak mereka bunuh.
Ketika pasukan tengah bertemu, George memanggil Pedang Allah, Khalid bin al-Walid. Khalid pun keluar dari pasukan, dan Abu Ubaidah menggantikan posisinya. Di tengah ribuan pasukan, kedua panglima perang itu berdiri berhadap-hadapan. Hingga leher tunggangan mereka bertautan.
George berkata, “Wahai Khalid, jawablah pertanyaanku dengan jujur. Jangan berbohong, karena orang yang merdeka tidak pantas berbohong. Jangan pula kau tipu aku, karena orang yang mulia tidak akan menipu”. George melanjutkan, “Apakah Allah menurunkan pedang dari langit kepada Nabi kalian, lalu ia memberikannya kepadamu? Kemudian tidaklah pedang itu berjumpa dengan suatu kaum, kecuali ia berhasil mengalahkannya?
“Tidak”, jawab Khalid singkat.
“Lalu mengapa engkau disebut dengan saifullah (Pedang Allah)?” Tanya George yang benar-benar menginginkan jawaban.
Khalid menjawab, “Sesungguhnya Allah ﷻ mengutus Nabi-Nya ke tengah-tengah kami. Ia mendakwahi kami, namun kami semua lari tak mengacuhkannya. Lalu sebagian kami ada yang membenarkan dakwahnya dan mengikutinya. Sementara yang lain menjauhi dan mendustakannya. Aku termasuk orang yang menjauhi, mendustakan, dan memeranginya. Setelah itu, Allah memberi hidayah kepada kami. Kami pun mengikuti ajarannya. Ia berkata kepadaku, ‘Engkau adalah pedang di antara pedang-pedang Allah yang ia hunuskan kepada orang-orang musyrik. Ia mendoakanku dengan kemenangan. Lalu melaqobiku dengan saifullah. Dari situlah, aku menjadi orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang musyrik”.
“Engkau telah jujur kepadaku”, sambut George menanggapi penjelasan Khalid.
Lalu ia kembali bertanya kepada Khalid, “Wahai Khalid, beri tahu aku, apa engkau serukan padaku?”
“Kepada persaksian bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Dan meyakini bahwa apa yang ada padanya (wahyu) adalah dari sisi Allah” Khalid menerangkan risalah Islam kepada George.
“Kalau orang tidak menerima seruan kalian itu?” tanya George.
“Jizyah menjamin mereka”, jawab Khliad.
“Bagaimana kalau mereka tidak mau menyerahkannya (jizyah)? tanya George.
“Kami perangi mereka”, jawab Khalid
“Bagaimana kedudukan orang-orang yang menerima seruan kalian?” tanya George.
“Kedudukan kami sama (setara) dalam kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan kepada kami. Baik orang yang mulia atau orang biasa. Baik yang awal (memeluk Islam) dan yang terakhir”, jawab Khalid.
George kembali mengajukan pertanyaan, “Apakah orang yang hari ini memeluk Islam –wahai Khalid- sama pahala dan ganjarannya?”
“Iya, bahkan bisa jadi lebih utama”, jawab Khalid.
Dengan nada heran, George kembali bertanya, “Bagaimana bisa ia sama dengan kalian, padahal kalian lebih dulu memeluk Islam?”
“Kami memeluk Islam dan berbaiat kepada nabi kami, di saat kami menjumpainya. Datang padanya kabar-kabar tentang kitab-kitab, lalu ia memperlihatkan tanda-tanda (kebesaran Allah) pada kami. Orang yang melihat apa yang kami lihat dan mendengar apa yang kami dengar membenarkannya, berislam, dan membaiatnya. Adapun kalian, kalian belum pernah menjumpai apa yang kami jumpai. Belum pernah mendengar apa telah kami dengar berupa mukjizat dan hujjah. Kalau kalian memeluk Islam dengan tulus dan sebenar-benarnya. Tentu lebih baik dari kami.” Jawab Khalid berusaha mengurai kebingungan George.
“Demi Allah, engkau berkata jujur, tidak menipuku, dan tidak berpura-pura padaku kan?” tanya George berusaha mendapatkan jawaban yang pasti.
Khalid menjwab, “Demi Allah, aku telah berucap jujur padamu. Aku tidak berkepentingan apapun padamu atau salah seorang dari kalian. Sesungguhnya Allah menjadi saksi atas apa yang engkau tanyakan padaku.”
George berkata, “Engkau telah jujur padaku.” Saat itu, George yang masih dalam persiapan berperang mulai luluh hatinya tatkala mendengar penjelasan dan seruan Khalid bin al-Walid radhiallahu ‘anhu. Hatinya bergetar dan cenderung kepada Khalid. Kemudian, di tengah medan perang dan posisi siap berperang, George mengucapkan perkataan yang mengejutkan, “Ajarkanlah aku tentang Islam”, pintanya.
Lalu Khalid mengajaknya ke tendanya. Menyediakan air untuknya bersuci. Kemudian George menunaikan shalat dua rakaat. George telah memeluk Islam. Khalid bin al-Walid dan para sahabat Nabi memberikan teladan bahwa berangkat ke medan perang bukanlah semata-mata untuk membunuh orang. Tapi tujuan utamanya adalah memberikan hidayah. Inilah bedanya jalan para sahabat dengan orang-orang yang terlibat aksi terorisme. Tujuan mereka membunuh, bukan memberi hidayah.
Keluar dari Bizantium dengan permusuhan yang memuncak dan memimpin pasukan untuk memerangi Islam dan kaum muslimin, ternyata saat itulah hidayah datang kepadanya. Oleh karena itu, janganlah kita berputus asa. Sebagaimana Khalid masih mengharapkan hidayah kepala pasukan yang hendak membunuh dan memeranginya.
George berbalik posisi. Ia berdiri di sebelah Khalid untuk memerangi pasukan Bizantium. Dalam perang itu ia menderita luka parah dan menemui syahidnya di medan Yarmuk. Setelah berislam, ia hanya satu kali melakukan shalat, dan sujud dalam dua rakaat. Kemudian ia gugur di medan jihad.
Benarlah apa yang Khalid ucapkan, bisa jadi orang yang baru memeluk Islam dan sedikit amalnya lebih unggul dibanding orang yang terlahir sebagai seorang muslim. George hanya menunaikan satu kali shalat dalam hidupnya, namun ia mendapatkan kemuliaan jihad di jalan Allah. Menjemput kematian sebagai seorang syuhada, insya Allah.
Sumber:
– Tarikh al-Umam wa –ar-Rusul wa al-Muluk oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, jilid 3, halaman 398-400.
Read More
'AIN "Mata Yang Beracun" Sesi 3 (Ustadz Harman Tajang, Lc., M.HI)

'AIN "Mata Yang Beracun" Sesi 3 (Ustadz Harman Tajang, Lc., M.HI)


Keburukan ‘Ain bukan hanya dari manusia akan tetapi bisa juga melalui jin, inilah pentingnya mengapa kita selalu menjaga diri kita dan membentengi diri kita dengan dzikir – dzikir terutama dzikir pagi dan petang , dzikir setelah sholat, membaca doa ketika keluar rumah tiada lain adalah agar kita terhidar gangguan jin baik berupa sihir, kesurupan maupun ‘Ain. Allah memerintahkan kita untuk berlindung dari segala keburukan baik yang terlihat mapun yang tersebunyi.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa berlindung dari keburukan jin kemudian dari mata – mata manusia atau ‘Ain. Dianatra doa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانِ وَهَامَّةٍ وَمِن كُلِّ عَيْنٍ لاَمَّةٍ

Aku memohon perlindungan (kepada Allah) bagi kalian berdua dengan firman-firman Allah yang sempurna dari gangguan setan dan binatang, serta dari bahaya sihir ‘ain yang tajam. [Doa perlindungan bagi anak“. (HR Al-Bukhari).
Namun ketika turun Muawwizatain beliau mengambil 2 bacaan (Surah Falaq, Surah An-Nas) dan meninggalkan bacaan yang lain. Sebagaimana kita telah jelaskan bahwa 2 surah ini dijadikan oleh malaikat untuk meruqiyah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang diikat dengan 11 ikatan buhul sehingga jika digabungkan 2 surah ini maka terdiri dari 11 ayat, ketika dibaca satu ayat maka terbuka satu ikatan dan seterusnya sampai 11 ayat dan terlepas 11 ikatan, sehingga Rasulullah disembuhkan atas izin Allah Subhanahu wata’ala.
Hal ini juga disebutkan oleh Allah dalam Surah Yusuf ayat 67 ketika anak-anak dari Nabi Yaqub ‘Alaihissalam hendak datang ke kota Mesir. Di zaman dahulu bangunan-bangunan besar dikelilingi oleh pagar yang besar sebagai benteng dan miliki pintu masuk layaknya gerbang, Nabi Yaqub berpesan kepada anak-anaknya (saudara Yusuf yang bukan se ibu) dimana mereka terkenal dengan kegantengan dan kegagahannya, beliau berpesan:

وَقَالَ يَا بَنِيَّ لَا تَدْخُلُوا مِنْ بَابٍ وَاحِدٍ وَادْخُلُوا مِنْ أَبْوَابٍ مُتَفَرِّقَةٍ ۖ وَمَا أُغْنِي عَنْكُمْ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ ۖ إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَعَلَيْهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُتَوَكِّلُونَ

Dan Ya’qub berkata:”Hai anak-anakku janganlah kamu (bersama-sama) masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berlain-lain; namun demikian aku tiada dapat melepaskan kamu barang sedikitpun dari pada (takdir) Allah. Keputusan menetapkan (sesuatu) hanyalah hak Allah; kepada-Nya-lah aku bertawakkal dan hendaklah kepada-Nya saja orang-orang yang bertawakkal berserah diri“. (QS. Yusuf: 67).
Berkata Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu mengenai dalil diatas:”Sesungguhnya Yaqub ini khawatir dengan anak – anaknya dari terkena ‘Ain karena jika masuk sekaligus secara bersamaan dan semua orang melihat mereka masuk dengan wajah yang ganteng maka boleh jadi dikahwatirkan terkan Al –‘Ain”.
Diantara doa yang dibacakan oleh malaikat Jibril ‘Alaihissalam ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendapat gangguan setan, yaitu:

بِسْمِ اللهِ أرْقِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءِِ يُؤْذِيْكََ مِن شَرِّ كُلِّ نَفْسِِ وَ عَيْنِ حَاسِدِِ اللهُ يَشْفِيكَ

“Dengan menyebut nama Allah, aku membacakan ruqyah untukmu dari segala sesuatu yang menganggumu dari kejahatan setiap jiwa dan pengaruh ‘ain. Semoga Allah menyembuhkanmu.”.  Dan terdapat doa-doa lain yang dapat dibacakan kepada sang anak untuk menjaganya dari bahaya ‘ain ataupun menyembuhkannya ketika telah terkena ‘ain. (lihat Hisnul Muslim oleh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani atau Ad Du’a min Al Kitab wa As Sunnah yang telah diterjemahkan dengan judul Doa-doa Dan Ruqyah dari Al-Qur’an dan Sunnah oleh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani).
Apa yang harus kita lakukan jika ada seseorang yang terkena ‘Ain:
  1. Jangan terlalu was – was dengan Al-‘Ain
Terkadang orang yang was – was yang khwatir akan dirinya terkena  ‘Ain dengan berlebihan sehingga ia benar – benar terkena ‘Ain, oleh karenanya sebagai orang yang beriman kita harus memiliki sifat tawakkal kepada Allah Subhanahu wata’ala.
  1. Bentengi diri kita sebelum terjadinya ‘Ain
‘Ain tidak selamanya tepat sasaran bisa kena bisa juga tidak adapun hasad tidak ada seorang pun yang bisa selamat darinya, karena orang yang mendapatkan nikmat dari Allah Subhanahu wata’ala selalu mendapatkan hasad dari orang lain.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah berkata:”Hasad tidak ada yang bisa selamat darinya hanya saja orang yang beriman berusaha menyembunyikannya dan mendoakan keberkahan buat saudaranya, adapun orang yang buruk dia menampakkannya dan berusaha untuk membahayakan saudaranya”.
Dosa saudaramu disebabkan karena Allah terus menambahkan nikmatnya kepadamu sehingga ia hasad. Jadi kita bersalah dimata mereka disebabkan karena Allah memberikan nikmatnya kepada kita, hal ini akan selalu ada dan merupakan penyakit yang sangat berbahaya bahkan termasuk diantara ahlul fadl sampai salah seorang ulama mengatakan:”Penyakit yang paling terakhir yang keluar dari hati orang – orang yang beriman adalah penyakit hasad”.
  1. Selalu membiasakan lisan kita mendoakan keberkahan terutama ketika kita melihat sesuatu yang menakjubkan, Allah Subhanahu wata’ala berfirman:

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ ۚ إِنْ تَرَنِ أَنَا أَقَلَّ مِنْكَ مَالًا وَوَلَدًا

Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu “maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan“. (QS. Al-Kahfi : 39).
Ini merupakan petunjuk yang disampaikan oleh pemilik 2 kebun yang disebutkan dalam surah Al-Kahfi  hendaknya engkau mengatakan:“Maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah), jadi ketika kita melihat sesuatu yang menakjubkan maka ucapkan masyaAllah, jika pulang ke rumah kemudian buka pintu kemudian disambut oleh anak – anak dan istri kita dimana semuanya pada lari untuk memeluk kita ucapkan :”Maasyaallaah Tabarakallah”,
Begitupula ketika melihat rumah kita atau melihat orang yang sukses atau melihat orang yang berhasil menghatamkan Al-Qur’an 30 juz atau berhasil di wisuda ucapkan:” Maasyaallaah Tabarakallah”, atau dalam keadaan dan kondisi yang lain.
Pernah terjadi dimana ada seorang imam yang memiliki suara yang sangat indah akan tetapi suatu hari suaranya hilang dalam waktu beberapa lama sehingga ia sendiri mengatakan saya terkena Al –‘Ain , oleh karenanya jika kita melihat sesatu kemudian takjub dan kagum maka ucapka:”Maasyaallaah Tabarakallah”, doakan keberkahan untuknya sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dari Abdillah bin Amir bin Rabiah, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ أَوْ مِنْ نَفْسِهِ أَوْ مِنْ مَالِهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيُبَرِّكْهُ فَإِنَّ الْعَيْنَ حَقٌّ

Apabila kalian melihat ada sesuatu yang mengagumkan pada saudaranya atau dirinya atau hartanya, hendaknya dia mendoakan keberkahan untuknya. Karena serangan ain itu benar. (HR. Ahmad 15700, Bukhari dalam at-Tarikh 2/9 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).
  1. Jika ada orang yang terkena Al-‘Ain maka ciri-cirinya dapat diketahui dalam beberapa hal diantaranya yaitu ketika ia tiba –tiba jatuh sakit atau prilakunya tampak berbeda dari pada yang lain , misalkan ketika dibawa ke dokter dan diruqiyah dan tidak ditemukan penyakitnya bisa jadi adalah ‘Ain, jika dalam kondisi demikian maka ingat – ingat siapa yang pernah menegurnya, misalkan ada tamu pernah berkunjung kerumah dan dia melihat anak kita sambil memujinya setelah itu anak kita sakit, maka yang harus kita lakukan adalah datang kepada orang yang pernah bertamu dirumah kita kemudian minta dia untuk berwudhu dan bekas air wudhunya kumpulkan ke dalam bejana dan juga cuci pakaian bagian dalamnya, Syaikh Sholeh Al Utsaimin menyebutkan bagian dalam topinya misalkan atau pakaian dalamnya kemudian ambil air bekasnya dan siramkan orang yang terkena ‘Ain pada bagian belakangnya . Rasulullah bersabda:
“Mandilah untuknya!” Maksudnya Nabi menyuruh Amir berwudhu kemudian diambil bekas air wudhunya untuk disiramkan kepada Sahl dan ini adalah salah satu cara pengobatan orang yang tertimpa ‘ain bila diketahui pelaku ‘ain tersebut (*). Maka Amir mandi dengan menggunakan satu wadah air. Dia mencuci wajah, kedua tangan, kedua siku, kedua lutut, ujung-ujung kakinya dan bagian dalam sarungnya. Kemudian air bekas mandinya itu dituangkan kepada Sahl, lantas dia sadar dan berlalulah bersama manusia”. (HR. Malik dalam al Muwaththa 2/938, Ibnu Majah 3509, dishahihkan oleh Ibnu Hibban 1424. sanadnya shahih, para perawinya terpercaya, lihat Zaadul Ma’ad tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Abdul Qadir al Arnauth 4/150 cet tahun 1424 H).
Perlu di ingat bahwa ‘Ain tidak mesti karena hasad mungkin disebabkan karena kagum dan takjub kemudian kita lalai berdzikir. Lalu bagaimana jika kita tidak tahu siapa yang menyebabkan sehingga ia terkena ‘Ain maka bacakan Al-Qur’an kepadanya seperti Surah Al-Qalam : 51, Ayat Kursi, Surah Al-Falaq, Surah An- Nas, Surah Al-Fatihah. jika dia merasakan dadanya semakin sesak maka bacakan terus dan insyaAllah dia akan sembuh atas izin Allah Subhanahu wata’ala.
Adapun bagi orang yang menjenguk orang yang sakit di rumah sakit maka bacakan ayat suci Al-Qur’an seperti Surah Al-Qalam : 51, Ayat Kursi, Surah Al-Falaq, Surah An- Nas, Surah Al-Fatihah,  karena boleh jadi ia terkena penyakit ‘Ain. Perlu diketahui bahwasanya sihir bukan hanya terjadi kepada orang yang kesurupan atau yang lainnya akan tetapi semua penyakit. Jadi sebelum pulang dari rumah sakit tempelkan tangan kita dikepala atau didadanya kemudian bacakan ayat – ayat Al-Qur’an kemudian tiupkan pada ubun – ubunnya atau dadanya, jika ia terkena ‘Ain atau penyakit yang lain boleh jadi ia sembuh atas izin Allah Subhanahu wata’ala.
Hal ini beberapa kali dilakukan oleh Ustadz Harman Tajang ketika ada yang sakit kemudian beliau membacakan ayat – ayat Al-Qur’an sehingga sembuh atas izin Allah Subhanahu wata’ala terutama pada ayat – ayat yang telah kita sebutkan tadi seperti Surah Al-Qalam : 51, Ayat Kursi, Surah Al-Falaq, Surah An- Nas, Surah Al-Fatihah.
Wallahu A’lam Bish Showaab
Read More
Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel

Muhammad Al-Fatih, Sang Penakluk Konstantinopel

Muhammad al-Fatih adalah salah seorang raja atau sultan Kerajaan Utsmani yang paling terkenal. Ia merupakan sultan ketujuh dalam sejarah Bani Utsmaniah. Al-Fatih adalah gelar yang senantiasa melekat pada namanya karena dialah yang mengakhiri atau menaklukkan Kerajaan Romawi Timur yang telah berkuasa selama 11 abad.
Sultan Muhammad al-Fatih memerintah selama 30 tahun. Selain menaklukkan Binzantium, ia juga berhasil menaklukkan wilayah-wilayah di Asia, menyatukan kerajaan-kerajaan Anatolia dan wilayah-wilayah Eropa, dan termasuk jasanya yang paling penting adalah berhasil mengadaptasi menajemen Kerajaan Bizantium yang telah matang ke dalam Kerajaan Utsmani.
Karakter Pemimpin Yang Ditanamkan Sejak Kecil
Muhammad al-Fatih dilahirkan pada 27 Rajab 835 H/30 Maret 1432 M di Kota Erdine, ibu kota Daulah Utsmaniyah saat itu. Ia adalah putra dari Sultan Murad II yang merupakan raja keenam Daulah Utsmaniyah.
Sultan Murad II memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anaknya. Ia menempa buah hatinya agar kelak menjadi seorang pemimpin yang baik dan tangguh. Perhatian tersebut terlihat dari Muhammad kecil yang telah menyelesaikan hafalan Alquran 30 juz, mempelajari hadis-hadis, memahami ilmu fikih, belajar matematika, ilmu falak, dan strategi perang. Selain itu, Muhammad juga mempelajari berbagai bahasa, seperti: bahasa Arab, Persia, Latin, dan Yunani. Tidak heran, pada usia 21 tahun Muhammad sangat lancar berbahasa Arab, Turki, Persia, Ibrani, Latin, dan Yunani, luar biasa!
Walaupun usianya baru seumur jagung, sang ayah, Sultan Murad II, mengamanati Sultan Muhammad memimpin suatu daerah dengan bimbingan para ulama. Hal itu dilakukan sang ayah agar anaknya cepat menyadari bahwa dia memiliki tanggung jawab yang besar di kemudian hari. Bimbingan para ulama diharapkan menjadi kompas yang mengarahkan pemikiran anaknya agar sejalan dengan pemahaman Islam yang benar.
Menjadi Penguasa Utsmani
Sultan Muhammad II diangkat menjadi Khalifah Utsmaniyah pada tanggal 5 Muharam 855 H bersamaan dengan 7 Febuari 1451 M. Program besar yang langsung ia canangkan ketika menjabat sebagai khalifah adalah menaklukkan Konstantinopel.
Langkah pertama yang Sultan Muhammad lakukan untuk mewujudkan cita-citanya adalah melakukan kebijakan militer dan politik luar negeri yang strategis. Ia memperbarui perjanjian dan kesepakatan yang telah terjalin dengan negara-negara tetangga dan sekutu-sekutu militernya. Pengaturan ulang perjanjian tersebut bertujuan menghilangkan pengaruh Kerajaan Bizantium Romawi di wilayah-wilayah tetangga Utsmaniah baik secara politis maupun militer.
Menaklukkan Bizantium
Sultan Muhammad II juga menyiapkan lebih dari 4 juta prajurit yang akan mengepung Konstantinopel dari darat. Pada saat mengepung benteng Bizantium banyak pasukan Utsmani yang gugur karena kuatnya pertahanan benteng tersebut. Pengepungan yang berlangsung tidak kurang dari 50 hari itu, benar-benar menguji kesabaran pasukan Utsmani, menguras tenaga, pikiran, dan perbekalan mereka.
Pertahanan yang tangguh dari kerajaan besar Romawi ini terlihat sejak mula. Sebelum musuh mencapai benteng mereka, Bizantium telah memagari laut mereka dengan rantai yang membentang di semenanjung Tanduk Emas. Tidak mungkin bisa menyentuh benteng Bizantium kecuali dengan melintasi rantai tersebut.
Akhirnya Sultan Muhammad menemukan ide yang ia anggap merupakan satu-satunya cara agar bisa melewati pagar tersebut. Ide ini mirip dengan yang dilakukan oleh para pangeran Kiev yang menyerang Bizantium di abad ke-10, para pangeran Kiev menarik kapalnya keluar Selat Bosporus, mengelilingi Galata, dan meluncurkannya kembali di Tanduk Emas, akan tetapi pasukan mereka tetap dikalahkan oleh orang-orang Bizantium Romawi. Sultan Muhammad melakukannya dengan cara yang lebih cerdik lagi, ia menggandeng 70 kapalnya melintasi Galata ke muara setelah meminyaki batang-batang kayu. Hal itu dilakukan dalam waktu yang sangat singkat, tidak sampai satu malam.
Di pagi hari, Bizantium kaget bukan kepalang, mereka sama sekali tidak mengira Sultan Muhammad dan pasukannya menyeberangkan kapal-kapal mereka lewat jalur darat. 70 kapal laut diseberangkan lewat jalur darat yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar, menebangi pohon-pohonnya dan menyeberangkan kapal-kapal dalam waktu satu malam adalah suatu kemustahilan menurut mereka, akan tetapi itulah yang terjadi.
Tanduk Emas atau Golden Horn
Tanduk Emas atau Golden Horn, di Istanbul, Turki.
Peperangan dahsyat pun terjadi, benteng yang tak tersentuh sebagai simbol kekuatan Bizantium itu akhirnya diserang oleh orang-orang yang tidak takut akan kematian. Akhirnya kerajaan besar yang berumur 11 abad itu jatuh ke tangan kaum muslimin. Peperangan besar itu mengakibatkan 265.000 pasukan umat Islam gugur. Pada tanggal 20 Jumadil Awal 857 H bersamaan dengan 29 Mei 1453 M, Sultan al-Ghazi Muhammad berhasil memasuki Kota Konstantinopel. Sejak saat itulah ia dikenal dengan nama Sultan Muhammad al-Fatih, penakluk Konstantinopel.
Saat memasuki Konstantinopel, Sultan Muhammad al-Fatih turun dari kudanya lalu sujud sebagai tanda syukur kepada Allah. Setelah itu, ia menuju Gereja Hagia Sophia dan memerintahkan menggantinya menjadi masjid. Konstantinopel dijadikan sebagai ibu kota, pusat pemerintah Kerajaan Utsmani dan kota ini diganti namanya menjadi Islambul yang berarti negeri Islam, lau akhirnya mengalami perubahan menjadi Istanbul.
Selain itu, Sultan Muhammad al-Fatih juga memerintahkan untuk membangun masjid di makam sahabat yang mulia Abu Ayyub al-Anshari radhiallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang wafat saat menyerang Konstantinopel di zaman Khalifah Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Apa yang dilakukan oleh Sultan Muhammad tentu saja bertentangan dengan syariat, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوْا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ، أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا الْقُبُوْرَ مَسَاجِدَ، إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ.
“… Ketahuilah, bahwa sesungguhnya umat-umat sebelum kamu telah menjadikan kuburan Nabi-Nabi mereka sebagai tempat ibadah, tetapi janganlah kamu sekalian menjadikan kuburan sebagai tempat ibadah, karena aku benar-benar melarang kamu melakukan perbuatan itu.” (HR. HR. Muslim no.532)
Kekeliruan yang dilakukan oleh Sultan Muhammad tidak serta-merta membuat kita menafikan jasa-jasanya yang sangat besar. Semoga Allah mengampuni kesalahan dan kekhilafannya beliau rahimahullah.
Setelah itu rentetat penaklukkan strategis dilakukan oleh Sultan Muhammad al-Fatih; ia membawa pasukannya menkalukkan Balkan, Yunani, Rumania, Albania, Asia Kecil, dll. bahkan ia telah mempersiapkan pasukan dan mengatur strategi untuk menaklukkan kerajaan Romawi di Italia, akan tetapi kematian telah menghalanginya untuk mewujudkan hal itu.
Peradaban Yang Dibangun Pada Masanya
Selain terkenal sebagai jenderal perang dan berhasil memperluas kekuasaan Utsmani melebihi sultan-sultan lainnya, Muhammad al-Fatih juga dikenal sebagai seorang penyair. Ia memiliki diwan, kumpulan syair yang ia buat sendiri.
Sultan Muhammad juga membangun lebih dari 300 masjid, 57 sekolah, dan 59 tempat pemandian di berbagai wilayah Utsmani. Peninggalannya yang paling terkenal adalah Masjid Sultan Muhammad II dan Jami’ Abu Ayyub al-Anshari
Wafatnya Sang Penakluk
Pada bulan Rabiul Awal tahun 886 H/1481 M, Sultan Muhammad al-Fatih pergi dari Istanbul untuk berjihad, padahal ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Di tengah perjalanan sakit yang ia derita kian parah dan semakin berat ia rasakan. Dokter pun didatangkan untuk mengobatinya, namun dokter dan obat tidak lagi bermanfaat bagi sang Sultan, ia pun wafat di tengah pasukannya pada hari Kamis, tanggal 4 Rabiul Awal 886 H/3 Mei 1481 M. Saat itu Sultan Muhammad berusia 52 tahun dan memerintah selama 31 tahun. Ada yang mengatakan wafatnya Sultan Muhammad al-Fatih karena diracuni oleh dokter pribadinya Ya’qub Basya, Allahu a’lam.
Tidak ada keterangan yang bisa dijadikan sandaran kemana Sultan Muhammad II hendak membawa pasukannya. Ada yang mengatakan beliau hendak menuju Itali untuk menaklukkan Roma ada juga yang mengatakan menuju Prancis atau Spanyol.
Sebelum wafat, Muhammad al-Fatih mewasiatkan kepada putra dan penerus tahtanya, Sultan Bayazid II agar senantiasa dekat dengan para ulama, berbuat adil, tidak tertipu dengan harta, dan benar-benar menjaga agama baik untuk pribadi, masyarakat, dan kerajaan.
Semoga Allah membalas jasa-jasamu wahai Sultan Muhammad al-Fatih…
Sumber: islamstory.com
Read More
Zaid Bin Tsabit Sang Penerjemah Rasulullah

Zaid Bin Tsabit Sang Penerjemah Rasulullah


Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu adalah seorang sahabat Anshar. Ia dipilih sebagai ketua tim pembukuan Alquran di Abu Bakar dan di zaman Utsman bin Affan. Amanah yang besar itu tentu menunjukkan sebesar apa kapasitas dan kedudukan beliau dalam Islam dan sejarah umat Islam.
Asal-Usulnya
Beliau adalah Zaid bin Tsabit bin adh-Dhahak al-Anshari. Ia berasal dari Bani Najjar yang merupakan keluarga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah. Saat Rasulullah tiba di Madinah, kondisi Zaid kala itu adalah seorang anak yatim. Ayahnya wafat pada Perang Bu’ats. Di tahun pertama hijrah itu, usia Zaid tidak lebih dari 11 tahun. Ia memeluk Islam bersama keluarganya. Rasulullah pun mendoakan keberkahan untuknya.
Kesungguhan Zaid
Sewaktu kecil, ia bersama orang-orang dewasa berangkat menemui Rasulullah untuk turut serta dalam Perang Badar. Tapi, Rasulullah tidak mengizinkannya karena ia terlalu muda dan badannya pun masih kecil. Tidak menyerah karena ditolak saat Perang Badar, saat Rasulullah menyiapkan pasukan Perang Uhud, Zaid kembali mendaftarkan diri. Kali ini ia berangkat bersama rombongan remaja seusianya. Berharap Rasulullah mengikut-sertakan mereka dalam pasukan mujahidin. Dan keluarga mereka lebih-lebih lagi harapannya agar Rasulullah menerima mereka.
Rasulullah memandangi mereka dengan pandangan terima kasih. Seakan-akan beliau menginginkan mereka untuk izin tidak ikut saja. Majulah anak muda yang bernama Rafi’ bin Khadij membawa sebuah belati atau tombak. Ia memamerkan keahliannya memegang senjata tersebut. Rafi’ berkata, “Sesungguhnya aku sebagaimana yang Anda lihat. Aku mahir dalam melempar senjata, karena itu izinkanlah aku.” Rasulullah pun mengizinkannya.
Kemudian Samurah bin Jundab pun maju. Salah seorang anggota keluarganya mengatakan, “Sesungguhnya Samurah lebih hebat dari Rafi.” Rasulullah pun mengizinkan beliau.
Tersisalah 6 orang pemuda pemberani lainnya. Di antara mereka ada Zaid bin Tsabit dan Abdullah bin Umar. Mereka mengeluarkan segala kemampuan membujuk rayu Rasulullah. Tak mempan dengan lisan, mereka bujuk dengan air mata. Belum juga berhasil dengan cara mengiba itu, mereka unjuk kekuatan dengan menunjukkan otot-otot mereka. Tapi usia mereka masih terlalu muda. Dan tubuh mereka masih begitu kecil. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolak mereka secara halus sekaligus menghibur mereka dengan berjanji akan mengajak mereka pada perang selanjutnya.
Akhirnya, Zaid dan Tsabit bersama anak-anak seusiasanya memulai pengalaman jihad mereka di Perang Khandaq. Pada tahun 5 H.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berkata, “Pada Perang Bu’ats aku berusia 6 tahun. Hal itu terjadi 5 tahun sebelum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah. Dan saat itu aku berusia 11 tahun. Aku dipertemukan dengan Rasulullah. Mereka berkata, ‘Ada seorang anak dari Kabilah Khazraj yang telah menghafal 16 surat’. Namun beliau tidak mengizinkan aku di Perang Badar dan Uhud. Barulah aku diizinkan di Perang Khandaq.”
Zaid memegang bendera Bani Najjar di Perang Tabuk. Awalnya bendera tersebut di pegang Umarah bin Hazm, tapi Rasulullah mengambilnya dan menyerahkannya kepada Zaid. Umarah berkata, “Wahai Rasulullah, apakah ada sesuatu tentangku (yang buruk) yang sampai kepadamu?” “Tidak ada. Tapi, yang lebih banyak menghafal Alquran layak dikedepankan. Dan Zaid lebih banyak menghafal Alquran daripada engkau.”
Perlu diketahui, dahulu para sahabat menghafal 10 ayat-10 ayat. Ketika mereka sudah paham dan mengamalkannya barulah mereka menambah hafalan. Sehingga siapa yang paling banyak hafalannya, maka semakin baik kualitasnya di antara mereka.
Pemuda Anshar Yang Cerdas
Dari Amir, ia menceritakan:
Sesungguhnya tebusan tawanan Perang Badar adalah 40 ukiyah emas. Siapa yang memiliki kepandaian baca-tulis, mereka diperintahkan mengajar baca-tulis kepada 10 orang kaum muslimin. Di antara yang mendapat pengajaran adalah Zaid bin Tsabit. Zaid adalah seorang cendekia dan memiliki keistimewaan dalam berbagai bidang. Ia seorang penghafal Alquran. Juru tulis Nabi yang menulis wahyu yang turun kepada Rasulullah. Ia memiliki kualitas ilmu dan hikmah yang mendalam.
Ketika Rasulullah mulai menyampaikan risalah Islam keluar Madinah, melakukan surat-menyurat kepada para raja dan kaisar, beliau memerintahkan Zaid untuk mempelajari bahasa-bahasa mereka. Zaid pun berhasil menguasai bahasa-bahasa tersebut dalam waktu yang singkat.
Zaid bin Tsabit mengatakan, “Aku dipertemukan dengan Nabi saat beliau tiba di Madinah. Ada yang mengatakan, ‘Ini adalah seorang anak dari Bani Najjar. Ia telah menghafal 17 surat (diriwayat sebelumnya 16)’. Aku pun membacakannya di hadapan beliau. Beliau sangat terkesan. Lalu beliau berkata, ‘Pelajarilah bahasa Yahudi (bahasa Ibrani). Sesungguhnya aku tidak bisa membuat mereka beriman dengan kitabku’. Aku pun melakukan apa yang beliau minta. Berlalulah waktu tidak lebih dari setengah bulan, aku pun menguasainya. Kemudian aku menulis surat Nabi kepada mereka. Apabila mereka yang mengirimkan surat kepada beliau, akulah yang menerjemah.”
Dari Tsabit bin Ubaid dari Zaid bin Tsabit, ia berkata, Rasulullah berkata kepadaku, “Apakah engkau bisa Bahasa Suryaniyah?” “Tidak,” jawabku. “Pelajarilah. Sungguh nanti akan datang surat-surat kepada kita”, pinta Rasulullah. Aku pun mempelajarinya dalam rentang waktu 17 hari.
Kita teringat dengan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ مَعَالِيَ الْأُمُوْرِ وَأَشْرَافِهَا وَيَكْرَهُ سَفْسَافَهَا
“Sesungguhnya Allah mencintai perkara yang terbaik dan membenci sesuatu yang asal-asalan.” (HR. ath-Thabrani).
Bagaimana pengaruh pendidikan Rasulullah terhadap para sahabat. Selain faktor kecerdasarn, tentu tekad dan kesungguhan juga berpengaruh besar. Sehingga Zaid begitu cepatnya menguasai bahasa-bahasa asing tersebut.
Al-A’masy mengatakan, “Pernah datang surat-surat kepada Zaid. Tapi ia tidak tertarik membacanya, kecuali yang ia percaya saja. Dari sinilah ia dikenal dengan panggilan Penerjemahnya Rasul.”
Penghafal Alquran
Sejak dimulainya dakwah Islam selama lebih kurang 20 tahun sejak wahyu pertama turun, terdapat sekelompok sahabat yang mampu menghafal dengan kemampuan biasa. Ada yang mampu menghafal semua yang tertulis. Ada pula yang menghafal semua ayat yang tersusun. Di antara mereka adalah Ali bin Abu Thalib, Ubay bin Ka’ab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Setelah Alquran diturunkan secara sempurna, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membacakannya kepada para sahabat dengan berurutan sebagaimana susunan surat dan ayat yang kita ketahui sekarang.
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu pernah menyetorkan hafalannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada tahun wafat beliau. Di tahun itu, Zaid menyetorkan hafalannya sebanyak dua kali. Dan qiro-at tersebut dinamakan qiro-at Zaid bin Tsabit. Karena dia pula yang menulis dan mengajukannya kepada Nabi agar dikoreksi. Dan teks tersebut beliau bacakan kepada orang-orang hingga beliau wafat.
Awal Pembukuan Alquran
Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, kaum muslimin dibuat sibuk dengan konflik melawan orang-orang murtad. Sehingga banyak korban jatuh dari kaum muslimin. Dalam Perang Yamamah (perang menghadapi nabi palsu, Musailimah al-Kadzab) misalnya, sejumlah besar penghafal Alquran gugur. Umar bin al-Khattab khawatir para penghafal Alquran terus berguguran karena konflik belum juga usai. Ia mendiskusikan ide membukukan Alquran dengan Khalifah Abu Bakar. Kemudian Abu Bakar beristikharah. Bermusyawarah dengan para sahabat. Setelah itu, ia memanggil Zaid bin Tsabit, “Sesungguhnya engkau adalah seorang pemuda yang cerdas. Aku akan memberimu tugas penting…” Abu Bakar memerintahkanya membukukan Alquran.
Zaid pun memegang tanggung jawab besar. Ia diuji dengan amanah yang berat dalam proyek besar ini. Ia mengecek dan menelaah hingga terkumpullah Alquran tersusun dan terbagi-bagi berdasarkan surat masing-masing. Tentang tanggung jawab besar ini, Zaid berkata, “Demi Allah! Kalau sekiranya kalian bebankan aku untuk memindahkan bukit dari tempatnya, tentu hal itu lebih ringan daripada kalian perintahkan aku untuk membukukan Alquran.”
Ia juga mengatakan, “Aku meneliti Alquran, mengumpulkannya dari daun-daun lontar dan hafalan-hafalan orang.” Namun dengan taufik dari Allah ia berhasil menjalankan amanah besar tersebut dengan baik.
Penyeragaman Bacaan Alquran
Pada masa pemerintah Khalifah Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu jumlah orang yang memeluk Islam semakin hari semakin bertambah. Hal itu terjadi di berbagai daerah. Tentu saja hal ini sangat positif. Namun, hal ini bukanlah tanpa celah. Daerah-daerah tersebut menerima riwayat qira-at yang berbeda-beda. Dan mereka belum mengenal variasinya. Sehingga mereka menyangka orang yang berbeda bacaan Alqurannya membuat-buat bacaan baru. Muncullah masalah baru.
Melalui usul sahabat Hudzaifah bin al-Yaman, Khalifah Utsman bin Affan pun membuat kebijakan menyeragamkan bacaan Alquran. Utsman mengatakan, “Siapakah orang yang paling dipercaya untuk menulis?” Orang-orang menjawab, “Penulisnya Rasulullah, Zaid bin Tsabit.” Utsman kembali mengatakan, “Siapakah yang paling fasih bahasa Arabnya?” Orang-orang menjawab, “Said bin al-Ash. Ia seorang yang dialeknya paling mirip dengan Rasulullah.” Utsman kembali mengatakan, “Said yang mendikte dan Zaid yang menulis.”
Zaid bin Tsabit meminta bantuan sahabat-sahabat yang lain. Para sahabat pun membawakan salinan Alquran yang ada di rumah Ummul Mukminin Hafshah binti Umar radhiallahu ‘anha. Para sahabat saling membantu dalam peristiwa besar dan bersejarah ini. Mereka jadikan hafalan Zaid sebagai tolok ukur. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan, “Pastilah para penghafal Alquran dari sahabat Muhammad tahu bahwa Zaid bin Tsabit adalah orang yang sangat mendalam ilmunya.”
Keutamaan Zaid bin Tsabit
Figur seorang Zaid bin Tsabit memiliki kedudukan yang tinggi di tengah masyarakat. Kaum muslimin sangat menghormatinya. Suatu hari Zaid mengendarai hewan tunggangannya. Kemudian Abdullah bin Abbas mengambil tali kekangnya dan menuntunnya. Melihat hal itu, Zaid berkata, “Biarkan saja wahai anak paman Rasulullah.” “Tidak. Seperti inilah selayaknya kita menghormati ulama kita,” jawab Ibnu Abbas.
Yang Pertama Membaiat Abu Bakar
Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu mengisahkan:
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, orang-orang Anshar angkat bicara. Salah seorang di antara mereka mengatakan, ‘Wahai orang-orang Muhajirin, sesungguhnya jika Rasulullah menugaskan salah seorang di antara kalian, beliau akan menjadikan salah seorang di antara kami sebagai pendampingnya. Karena itu, kami memandang setelah beliau kepemimpinan ini dipegang oleh dua orang. Satu dari kalian dan satu dari kami’.
Orang-orang Anshar pun menyuarakan demikian. Lalu berdirilah Zaid bin Tsabit. Ia berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah berasal dari Muhajirin. Dan kepemimpinan itu pada Muhajirin dan kita adalah penolong mereka. Sebagaimana kita telah menjadi Anshar nya Rasulullah’.
Abu Bakar pun berdiri dan berterima kasih atas ucapan Zaid yang menenangkan suasana. Abu Bakar berkata, ‘Wahai orang-orang Anshar, benarlah apa yang teman kalian ucapkan. Seandainya kalian melakuakn selain itu, tentu kami tidak membenarkannya’.
Zaid menggapai tangan Abu Bakar, kemudian berkata, ‘Ini adalah sahabat kalian. Baiatlah dia’.
Apabila Abu Bakar berhaji, maka Umar dan Zaid bin Tsabit yang menggantikan beliau sebagai khalifah. Zaid juga diberi amanah membagi ghanimah di Perang Yarmuk. Ia juga merupakan salah seorang dari enam orang ahli fatwa: Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ubay, Abu Musa, dan Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhum ajma’in. Umar dan Utsman tidak melebihkan seorang pun dalam permasalah kehakiman, fatwa, faraidh, dan qiroa-ah dibanding Zaid bin Tsabit.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَرْحَمُ أُمَّتِي بِأُمَّتِي أَبُو بَكْرٍ وَأَشَدُّهُمْ فِي أَمْرِ اللَّهِ عُمَرُ وَأَصْدَقُهُمْ حَيَاءً عُثْمَانُ وَأَعْلَمُهُمْ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ وَأَفْرَضُهُمْ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَأَقْرَؤُهُمْ أُبَيٌّ وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَمِينٌ وَأَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ
“Umatku yang paling penyayang terhadap yang lain adalah Abu Bakar. Yang paling kokoh dalam menjalankan perintah Allah adalah Umar. Yang paling jujur dan pemalu adalah Utsman. Yang paling mengetahui halal dan haram adalah Mu’adz bin Jabal. Yang paling mengetahui ilmu fara’idh (pembagian harta warisan) adalah Zaid bin Tsaabit. Yang paling bagus bacaan Alqurannya adalah Ubay. Setiap umat mempunyai orang kepercayaan. Dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR. at-Turmudzi 3791).
Seorang tokoh tabi’in, Muhammad bin Sirin, mengatakan, “Zaid bin Tsabit mengalahkan orang-orang dalam dua hal: Alquran dan faraidh.”
Wafatnya
Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu wafat pada tahun 45 H di masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan radhiallahu ‘anhu.
Di hari wafatnya Zaid, Abu Hurairah berkata, “Pada hari ini telah wafat tintanya umat ini. Semoga Allah menjadikan Ibnu Abbas sebagai penggantinya.”
Tinta adalah ungkapan untuk keluasan ilmu. Karena di zaman dahulu, menulis ilmu itu membutuhkan tinta.
Diterjemahkan secara bebas dari:
– https://islamstory.com/-زيد_بن_ثاب
Read more http://kisahmuslim.com/6026-zaid-bin-tsabit-sang-penerjemah-rasulullah.html
Read More