'

Selamat Datang di Website Resmi Muhammad Akbar bin Zaid “Assalamu Alaikum Warahmtullahi Wabarakatu” Blog ini merupakan blog personal yg dibuat & dikembangkan oleh Muhammad Akbar bin Zaid, Deskripsinya adalah "Referensi Ilmu Agama, Inspirasi, Motivasi, Pendidikan, Moralitas & Karya" merupakan kesimpulan dari sekian banyak kategori yang ada di dalam blog ini. Bagi pengunjung yang ingin memberikan saran, coretan & kritikan bisa di torehkan pada area komentar atau lewat e-mail ini & bisa juga berteman lewat Facebook. Terimah Kasih Telah Berkunjung – وَالسٌلام عَلَيْكُم
Ketenangan Hati Bagi Para Pembaca Al-Qur'an

Ketenangan Hati Bagi Para Pembaca Al-Qur'an

Abdullah bin ‘Umar bercerita, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada (rasa) hasad kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang diberi al-Kitab oleh Allah sedang dia membacanya di tengah malam dan siang hari, dan orang yang diberi harta oleh Allah sedang dia menyedekahkannya di tengah malam dan di siang hari.” (HR. al-Bukhari).
Kemudian Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Tidak ada hasad kecuali kepada dua orang, yaitu orang yang diajari Al-Qur’an oleh Allah lalu dia membacanya di tengah malam dan siang hari, kemudian tetangganya mendengarnya dan berkata, ‘Seandainya aku diberi apa yang diberikan kepada si fulan, niscaya aku akan melakukan seperti apa yang dikerjakannya.’ Dan orang yang diberi kekayaan oleh Allah, lalu dia mengalokasikannya dalam kebenaran, kemudian ada orang berkata, ‘Seandainya aku diberi seperti apa yang diberikan kepada si fulan itu, niscaya aku akan melakukan seperti apa yang dilakukannya.’”
Kandungan kedua hadits di atas bahwa orang yang suka membaca al-Qur’an selalu merasa senang, yaitu dalam keadaan baik, karenanya dia harus berusaha mempertahankan apa yang ada padanya.
Disebut ghibthah (bukan hasad) jika seseorang mengharapkan nikmat seperti yang dirasakan dua orang tersebut. Hal tersebut jelas berbeda dengan sifat iri (hasad) yang tercela, yaitu mengharapkan hilangnya nikmat dari orang yang menjadi obyek hasadnya tersebut, baik orang tersebut memperoleh nikmat tersebut maupun tidak. Menurut syari’at, hal itu sangat tercela dan merusak. Dan itulah kedurhakaan pertama kali yang dilakukan oleh iblis, yaitu ketika dia iri kepada Adam ‘alaihissalam atas apa yang dikaruniakan Allah kepadanya, baik itu berupa kemuliaan, penghormatan, maupun pengagungan. Sedangkan iri yang disyari’atkan dan terpuji adalah iri yang tetap menginginkan langgengnya keadaan yang membahagiakan.
Abu Kabsyah al-Anmari berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,.
“Perumpaan umat ini adalah seperti empat orang, yaitu seseorang yang diberi kekayaan dan ilmu oleh Allah, lalu dia mengamalkannya dan pada kekayaannya dia menginfakkannya kepada yang berhak. Dan seseorang yang diberi ilmu oleh Allah tetapi ia tidak diberi kekayaan, lalu ia berkata, ‘Seandainya aku memiliki harta seperti ini, niscaya aku akan memanfaatkannya seperti yang dilakukan oleh orang itu.’ Rasulullah berkata, ‘Keduanya sama dalam penerimaan pahala.’ Serta seseorang yang diberi kekayaan oleh Allah tetapi ia tidak diberi ilmu oleh-Nya, lalu dia menghamburkan dan membelanjakan tidak pada haknya. Dan seseorang yang tidak diberi kekayaan dan (tidak) juga ilmu oleh Allah sedang dia mengatakan, ‘Seandainya aku memiliki kekayaan seperti orang itu, niscaya aku akan melakukan seperti yang dia lakukan.’ Rasulullah berkata, ‘Maka keduanya sama dalam hal dosanya.’” (Sanadnya shahih)
Walillahil hamdu wal minnah.
Ditulis ulang dengan sedikit peringkasan dari buku “Tafsir Ibnu Katsir” jilid 8 (edisi terjemah Indonesia), Penyusun: Dr. ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq alu syaikh.

Baca Juga: Adab & Sunnah Saat Berbuka Puasa

Terimah Kasih atas kunjungan Ta' semoga artikel ini bermamfaat... @Wassalam
Read More
Adab & Sunnah Saat Berbuka Puasa

Adab & Sunnah Saat Berbuka Puasa


Pertama: Menyegerakan Berbuka Puasa
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda; “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Sahl bin Sa’ad As-Saa’idi radhiyallahu’anhu].
Sepakat ulama bahwa yang dimaksud menyegerakan berbuka apabila telah terbenam matahari,[1] hendaklah segera berbuka, jangan ditunda-tunda. Kebaikan yang dimaksud dalam hadits ini adalah peneladanan terhadap sunnah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.[2]
Hadits yang mulia ini juga sebagai bantahan terhadap golongan sesat Syi’ah dan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang menunda-nunda waktu berbuka sampai munculnya bintang-bintang.[3]
Kedua: Cara Memastikan Terbenamnya Matahari
Cara memastikan terbenamnya matahari bisa dengan tiga cara:[4]
1) Melihat langsung.
2) Mendengar berita yang terpercaya.
3) Mendengar adzan Maghrib.
Ketiga: Hukum Orang yang Berbuka Sebelum Matahari Terbenam Karena Mengira Sudah Terbenam
Kondisinya ada dua:
1) Kondisi ragu, yaitu apabila ia berbuka dalam keadaan ragu apakah matahari telah terbenam atau belum, kemudian akhirnya menjadi jelas bahwa ternyata matahari belum terbenam, maka puasanya batal dan wajib baginya untuk meng-qodho’, karena pada asalnya adalah tetapnya siang, tidak boleh dihukumi malam kecuali dengan keyakinan.[5]
2) Kondisi yakin, yaitu apabila ia berbuka dalam keadaan yakin bahwa matahari telah terbenam, kemudian ternyata menjadi jelas bahwa matahari belum terbenam, maka pendapat yang kuat insya Allah puasanya tidak batal, hendaklah ia melanjutkan puasanya sampai terbenam matahari dan tidak perlu meng-qodho’.
Berdasarkan hadits Asma’binti Abu Bakr radhiyallahu’anhuma, beliau berkata, “Kami berbuka di masa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pada hari mendung, kemudian matahari muncul.” Dikatakan kepada Hisyam (rawi hadits): Apakah mereka diperintahkan untuk meng-qodho’? Beliau berkata: Harus di-qodho’. Dan berkata Ma’mar, Aku mendengar Hisyam berkata: Aku tidak tahu mereka meng-qodho’ atau tidak.” [HR. Al-Bukhari]
Pendapat harus meng-qodho’ dalam riwayat di atas hanyalah ijtihad Hisyam bin Urwah rahimahumallah, bukan dari hadits Nabi shallallahu’alaihi wa sallam. Pendapat yang lebih kuat insya Allah adalah puasa mereka tetap sah dan tidak wajib qodho’, karena tidak ada riwayat bahwa mereka diperintahkan untuk meng-qodho’, bahkan telah dinukil riwayat oleh Hisyam rahimahullah sendiri dari Bapaknya; Urwah rahimahullah, yang memastikan bahwa mereka tidak diperintahkan untuk meng-qodho’. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Dan Hisyam telah menukil dari bapaknya; Urwah, ‘Bahwa mereka tidak diperintahkan untuk meng-qodho’.’ Dan Urwah lebih berilmu dari anaknya.” [Majmu’ Al-Fatawa, 25/232]
Keempat: Makanan yang Disunnahkan untuk Berbuka
Sahabat yang Mulia Anas bin Malik radhiyallaahu’anhu berkata; “Dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbuka puasa dengan kurma muda sebelum sholat Maghrib, jika tidak ada kurma muda maka dengan kurma matang, jika tidak ada maka beliau meminum beberapa teguk air.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, Ash-Shahihah: 2650].
Tidak disunnahkan memakan kurma dalam jumlah ganjil, karena tidak ada dalil shahih yang menujukkannya, yang ada dalil shahih hanyalah ketika memakan kurma sebelum keluar untuk sholat Idul Fitri, maka disunnahkan dalam jumlah ganjil, dan minimal 3 butir kurma.
Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa jika tidak ada kurma hendaklah air sebagai gantinya, bukan kue yang manis-manis atau buah-buahan lainnya. Hadits yang mulia ini juga menunjukkan bahwa waktu berbuka sebelum sholat Maghrib, namun tidak boleh dengan alasan berbuka kemudian melalaikan sholat Maghrib berjama’ah di awal waktu, maka yang lebih baik adalah menunda makan malam sampai setelah sholat Maghrib agar tidak terlambat.[6]
Kelima: Kapankah Waktu Berbuka Puasa di Negeri yang Siangnya Panjang?
Kondisinya ada dua keadaan:
1)     Apabila waktu siang dan malam masih terbedakan dengan terbitnya fajar dan terbenamnya matahari, walau waktu siangnya jauh lebih panjang daripada waktu malam maka wajib untuk sholat dan puasa sesuai waktu yang ditetapkan syari’at, sehingga waktu mulai berpuasa tetap setelah terbit fajar dan waktu berbuka setelah terbenamnya matahari.
Namun bagi siapa yang tidak mampu menyempurnakan puasa, atau khawatir akan membinasakannya, atau menyebabkan sakit parah maka boleh baginya untuk membatalkan puasanya dan wajib baginya untuk qodho’,[7] hukumnya sama dengan orang sakit yang masih diharapkan kesembuhannya.
2)     Apabila waktu siang dan malam tidak terbedakan, yaitu tidak terlihat matahari terbit dan tidak pula tenggelam, maka hendaklah diperkirakan waktu sholat 5 waktu dalam 24 jam, dan hendaklah berpatokan pada negeri terdekat yang mampu membedakan antara waktu siang dan malam.
Demikian pula waktu puasa, hendaklah diperkirakan waktu Shubuh dan waktu Maghrib dalam 24 jam, dan hendaklah berpatokan pada negeri terdekat yang mampu membedakan antara waktu siang dan malam.[8]
Keenam: Kapan Berbuka Puasa Orang yang Naik Pesawat?
Hukum asalnya adalah mengikuti waktu di tempat di mana ia berada, jika di darat mengikuti waktu darat dan jika di udara mengikuti waktu di udara. Misalkan seseorang berada di pesawat di langit Jakarta, maka orang-orang yang berada di daratan Jakarta akan lebih dulu melihat matahari tenggelam, dan disyari’atkan bagi mereka untuk berbuka. Adapun yang ada di udara, apabila ia masih menyaksikan matahari maka tidak boleh baginya untuk berbuka atau sholat Maghrib sampai menyaksikannya atau memastikannya tenggelam.
Demikian pula ketika masuk waktu Maghrib saat seseorang berada di bandara, maka hendaklah ia berbuka dan sholat Maghrib, apabila ia naik pesawat dan atau tiba di tempat tujuan, waktu Maghrib belum masuk maka ia tidak perlu meneruskan puasa dan tidak perlu sholat Maghrib lagi, karena waktu berbuka dan sholatnya di tempat di mana ia berada sebelumnya saat masuk waktu tersebut.[9]
Ketujuh: Hukum Berpuasa Wishol
Tidak boleh berpuasa wishol, yaitu menyambung puasa tanpa berbuka dan tanpa sahur, hanya saja bagi yang ingin melakukannya diberikan keringanan sampai sahur saja, namun meninggalkannya lebih baik.[10] Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
“Janganlah kalian menyambung puasa, siapa diantara kalian yang ingin menyambung maka sambunglah sampai waktu sahur. Para sahabat berkata: Sesungguhnya engkau menyambung puasa wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Sungguh aku tidak seperti keadaan kalian, aku bermalam dalam keadaan ada yang memberiku makan dan minum.” [HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu]
Kedelapan: Anjuran Memberi Makan Berbuka Puasa dan Sahur
Jangan lupakan amalan agung di bulan ini: Memberi makanan berbuka puasa dan sahur untuk orang yang berpuasa. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa memberi makan orang yang berbuka puasa maka ia mendapat pahala yang sama dengannya tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut.” [HR. At-Tirmidzi dari Zaid bin Khalid Al-Juhani radhiyallahu’anhu, Shahihul Jaami’: 6415]
Kesembilan: Hukum Ifthor Jama’i (Buka Puasa Bersama)
Ifthor jama’i; atau buka puasa bersama bukanlah ibadah secara khusus, namun boleh dikerjakan selama perkumpulan tersebut tidak diniatkan sebagai ibadah secara khusus, dan apabila dikhawatirkan muncul riya’ atau sum’ah ketika buka puasa sunnah bersama maka sebaiknya ditinggalkan.[11]
Kesepuluh: Beberapa Permasalahan Terkait Doa Ketika Puasa dan Berbuka
1) Hendaklah memperbanyak doa ketika berpuasa, sejak mulai berpuasa sampai berbuka puasa. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Ada tiga doa yang tidak akan ditolak: Doa orang tua (untuk anaknya), doa orang yang berpuasa, dan doa musafir.” [HR. Al-Baihaqi dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Ash-Shahihah: 1797]
2) Juga dianjurkan banyak berdoa di bulan Ramadhan di waktu siang dan malamnya.* Raulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka di setiap siang dan malam Ramadhan, dan bagi setiap muslim di setiap malam dan siangnya ada doa yang pasti dikabulkan.” [HR. Ath-Thobrani dalam Al-Mu’jam Al-Aushat dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 1002]
3) Adakah doa khusus ketika berbuka puasa?* Ulama berbeda pendapat dalam menghukumi shahih tidaknya hadits-hadits tersebut, dan yang paling dianggap shahih adalah doa dengan lafaz,
“Dzahabaz Zhoma’ wab-tallatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah”
“Telah hilang dahaga, telah basah urat-urat dan telah tetap pahalanya insya Allah.” [HR. Abu Daud dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma]
Sebagian ulama seperti Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menshahihkan hadits ini[12] dan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah mendha’ifkannya.[13] Dan dalam salah satu fatwa Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah, beliau tidak memastikan keshahihannya, beliau menyebutkan padanya ada kelemahan dan beliau mengatakan bahwa sebagian ulama menghasankannya.[14]
Maka dalam perkara ini ada keluasan bagi penuntut ilmu untuk meneliti pendapat mana yang lebih kuat, dan tidak ada celaan bagi orang yang mengikuti salah satu pendapat ulama tersebut sesuai dengan ilmu yang ia miliki atau hasil penelitiannya, dan kami sendiri cenderung kepada pendapat yang melemahkannya.
Akan tetapi tetap dianjurkan untuk banyak berdoa ketika berpuasa dan ketika berbuka puasa, berdasarkan dalil-dalil yang umum tentang anjuran banyak berdoa di bulan Ramadhan dan ketika berpuasa, yang telah kami sebutkan sebelumnya.

4) Jangan lupa tetap membaca doa sebelum dan sesudah makan ketika berbuka,* sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
“Apabila seorang dari kalian mau makan maka ucapkanlah nama Allah ta’ala (Bismillaah), jika ia lupa mengucapkan nama Allah ta’ala sebelum makan, hendaklah ia mengucapkan,
“Bismillaahi awwalahu wa aakhirohu” Dengan nama Allah pada awalnya dan akhirnya.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi dari Aisyah radhiyallahu’anha, Shahihul Jami’: 380]
Adapun doa setelah makan disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam,
“Barangsiapa makan makanan lalu membaca,
“Alhamdulillaahillaadzi ath’amaniy hadza wa rozaqoniyhi min ghairi haulin minni walaa quwwatin.”
‘Segala puji bagi Allah yang telah memberi aku makan dan menganugerahkan rezeki itu kepadaku tanpa ada upaya dan kekuatan dariku’, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi, dan ini lafaz At-Tirmidzi, dari Mu’adz bin Anas Al-Juhani radhiyallahu’anhu, Shahihut Targhib: 2042]
5) Jangan lupa pula mendoakan kebaikan untuk orang yang telah memberi makan berbuka kepada kita,* diantaranya dengan doa Nabi shallallahu’alaihi wa sallam,
“Afthoro ‘indakumus Shooimuuna, wa akala tho’amakumul abrooru, wa shollat ‘alaykumul malaaikah”
“Orang-orang yang berpuasa telah berbuka di tempat kalian, orang-orang baik telah memakan makanan kalian dan semoga para malaikat bersholawat atas kalian.” [HR. Abu Daud dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Shahihul Jaami’: 1137]

Dan doa umum untuk setiap orang yang memberi makan atau minum,
“Allaahumma ath’im man ath’amani wa asqi man asqooni”
“Ya Allah beri makanlah orang yang memberi makan kepadaku, dan beri minumlah orang yang memberi minum kepadaku.” [HR. Muslim dari Al-Miqdad radhiyallahu’anhu]
Catatan Kaki:
[1] Lihat Fathul Baari, 4/199.
[2] Lihat Taysirul ‘Allaam, hal. 335.
[3] Lihat Fathul Baari, 4/199.
[4] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/30, no. 19793.
[5] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/291.
[6] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/33, no. 18372.
[7] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/296.
[8] Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baz rahimahullah, 15/297-299.
[9] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 10/296-297, no. 2254.
[10] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/24 no. 18601.
[11] Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 9/35 no. 15616.
[12] Lihat Shahih Sunan Abi Daud no. 2041.
[13] Lihat Nashaaih wa Fadhooih, hal. 74.
[14] Lihat Majmu’ Fatawa wa Rosaail Ibnil ‘Utsaimin rahimahullah, 19/363.

Baca Juga: Bulan Ramadhan dan Kebhinekaan

Terimah Kasih atas kunjungan Ta' semoga artikel ini bermamfaat... @Wassalam
Read More