'

Selamat Datang di Website Resmi Muhammad Akbar bin Zaid “Assalamu Alaikum Warahmtullahi Wabarakatu” Blog ini merupakan blog personal yg dibuat & dikembangkan oleh Muhammad Akbar bin Zaid, Deskripsinya adalah "Referensi Ilmu Agama, Inspirasi, Motivasi, Pendidikan, Moralitas & Karya" merupakan kesimpulan dari sekian banyak kategori yang ada di dalam blog ini. Bagi pengunjung yang ingin memberikan saran, coretan & kritikan bisa di torehkan pada area komentar atau lewat e-mail ini & bisa juga berteman lewat Facebook. Terimah Kasih Telah Berkunjung – وَالسٌلام عَلَيْكُم
Showing posts with label Problematika Kehidupan. Show all posts
Showing posts with label Problematika Kehidupan. Show all posts
Realitas Bangsa Indonesia: Peran Nyata Ummat Islam Dalam Merebut Kemerdekaan

Realitas Bangsa Indonesia: Peran Nyata Ummat Islam Dalam Merebut Kemerdekaan

Peran umat Islam baik sebelum maupun setelah kemerdekaan negeri ini sesungguhnya amatlah besar, bahkan dominan. Sayangnya, ada upaya-upaya sistematis dari para pendengki Islam untuk mengecilkan, bahkan menghapus sama sekali peran besar umat Islam ini. Akibatnya, generasi bangsa ini hari ini benar-benar tercerabut dari akar sejarah yang sebenarnya. Justru, sejarah yang penuh manipulasi dan pengkerdilan peran umat Islamlah yang kini memenuhi buku-buku sejarah.
Sesungguhnya umat Islam memiliki peran sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan dalam menumbuhkan kebangkitan. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan penjajah Belanda selalu bernafaskan jihad. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, kebanyakan dari mereka yang tergugah adalah para ulama dan ustadz dari berbagai pelosok desa. 
Pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang masa penjajahan selalu di bawah bendera Islam. Demikian pula perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan “kape-kape” Belanda. Dalam proses kemerdekaan pun, peran umat sangatlah sentral. Di sana ada tokoh-tokoh umat seperti KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, KH Kahar Muzakkir dan lainnya yang menjadi anggota BPUPKI dan PPKI. Mereka bukan sekadar menginginkan Indonesia merdeka, tetapi juga gigih memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. 
Setelah kemerdekaan, peran umat Islam juga tetap sentral. Resolusi Jihad yang didengungkan oleh KH Hasyim Asy’ari menggetarkan pasukan NICA-Belanda yang ingin masuk lagi ke Indonesia dengan membonceng pasukan sekutu. Resolusi ini juga menjadi tonggak penting bagi pembentukan TNI melalui Hizbullah yang asalnya terdiri dari para santri dan ulama. Namun dalam sejarah, peran umat Islam tampaknya tidak terlalu menonjol dan bila ada pun seolah dalam kerangka patriotisme dan nasionalisme. Memang, dalam sejarah yang ditulis secara tidak obyektif, peran umat Islam yang sesungguhnya sangat sentral itu dihapus atau dikecilkan, kalaupun tetap tercatat, itu terbaca dalam bingkai yang berbeda, yakni dalam kerangka nasionalisme sempit, bukan lagi dalam bingkai Islam.
Salah satu contoh sangat nyata dari penghapusan peran Islam adalah apa yang dialami oleh Sarikat Islam (SI). Dalam Buku-buku Sejarah kita tercatat, gagasan kebangkitan itu datang dari Boedi Oetomo (BO). Karena itu, setiap tanggal 20 Mei, hari lahir BO, diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Padahal kenyataan sebenarnya tidaklah seperti itu. BO tidak bisa disebut sebagai organisasi yang menggagas, apalagi menggerakkan kebangkitan ! 
Menurut Savitri Scherer dalam thesisnya di Universitas Cornell, Amerika Serikat pada tahun 1975, Boedi Oetomo hanyalah sebuah gerakan sosial bagi kepentingan kelompok priyayi non birokrat yang bersifat lokal dan rasis ( Savitri Prasisiti Scherer, “Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiranPriyayi Nasionalis Jawa Abad XX”, Terjemahan Jiman S. Rumbo, Jakarta: Sinar Harapan, 1985 ). Pasal 2 Anggaran Dasar Boedi Oetomo menyebut:"Tujuan organisasi untuk menggalang kerjasama guna memajukan tanah dan bangsa Jawa dan Madura secara harmonis". Karena itu, banyak pengamat sejarah yang menolak penyematan Boedi Oetomo sebagai pelopor kebangkitan nasional. Pelaku dan penulis sejarah, KH Firdaus AN, misalnya, dengan tegas mengungkap, “Tidak pernah sekalipun rapat Boedi Oetomo membahas tentang kesadaran berbangsa dan bernegara yang merdeka. Mereka ini hanya membahas bagaimana memperbaiki taraf hidup orang-orang Jawa dan Madura di bawah pemerintahan Ratu Belanda, memperbaiki nasib golongannya sendiri.” 
Menurut KH Firdaus AN, Boedi Oetomo tidak memiliki andil sedikit pun dalam perjuangan kemerdekaan, karena mereka terdiri dari para pegawai negeri yang digaji Belanda untuk mempertahankan penjajahan atas Indonesia. Boedi Oetomo tidak pula turut serta mengantarkan bangsa ini ke pintu gerbang kemerdekaan, karena telah lebih dulu bubar pada tahun 1935.Lalu siapa yang layak disebut sebagai sebagai penggerak kebangkitan dan kesadaran perlawanan terhadap penjajah Belanda? Itulah Sarikat Islam (SI). Lihatlah, keanggotan SI berbeda dengan BO yang hanya untuk suku tertentu. SI terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Haji Samanhudi dan HOS Tjokroaminoto berasal dari Jawa Tengah dan Timur, Agus Salim dan Abdoel Moeis dari Sumatera Barat dan AM. Sangaji dari Maluku. Penyebaran SI juga menasional. Tahun 1916 tercatat ada 181 cabang SI di seluruh Indonesia dengan sekitar 700.000 anggota. 
Tahun 1919 anggota SI melonjak drastis hingga 2 juta orang. Ini adalah angka yang fantastis kala itu. Adapun Boedi Oetomo pada masa jayanya saja hanya beranggotakan tak lebih dari 10.000 orang. Jadi, SI-lah pelopor yang sebenarnya dari kebangkitan yang bersifat nasional. Lalu mengapa sejarah menempatkan Boedi Oetomo sebagai pelopor? Dari sini terlihat kecenderungan adanya usaha peminggiran Islam atau bahkan menghilangkan spirit Islam dari perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia ! Demikian “KEJAM” sejarah meminggirkan peran umat Islam.
Bahkan Resolusi Jihad  KH Hasyim Asy’ari yang sangat fenomenal itu tidak tertulis sama sekali dalam sejarah nasional. Ini sangat aneh, karena sesungguhnya tidak pernah ada perlawanan Bung Tomo di Surabaya, yang kemudian dicatat sebagai Hari Pahlawan, tanpa Resolusi Jihad. Resolusi inilah yang mendorong Bung Tomo dan para pemuda Surabaya ketika itu berani bergerak melawan Belanda. Mengapa terjadi penyimpangan atau pembelokan seperti itu? Sejarah memang adalah realitas tangan kedua (second-hand reality). Yang kita baca sekarang dalam buku-buku sejarah bukanlah fakta sejarah, tetapi perumusan terhadap fakta sejarah pada masa lalu. Sebagai realitas tangan kedua, sejarah sangat bergantung pada siapa yang merumuskan atau menuliskan dan atas dasar kepentingan apa sejarah itu ditulis. Karena itu, sejarah sesungguhnya sangat bergantung pada lingkup politik yang dominan saat sejarah itu ditulis. 
Tentu bukan sebuah kebetulan belaka ketika sejarah Kebangkitan Nasional didasarkan pada kelahiran Boedi Oetomo, bukan Sarikat Islam, yang sejatinya tidaklah tepat untuk dijadikan tonggak sejarah penting itu. Ini sebagaimana Hari Pendidikan Nasional yang bukan didasarkan pada kelahiran Muhammadiyah dengan sekolah pertama yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan, berbelas tahun sebelum Ki Hadjar mendirikan Taman Siswa. Sebab, bila itu dilakukan maka yang akan tersembul adalah spirit atau semangat Islam.
Dalam setting politik penguasa, itu tidak dikehendaki. Oleh karena itu, kinilah saatnya membaca ulang sejarah kebangkitan nasional, sejarah pendidikan nasional dan sejarah nasional lainnya secara kritis dan obyektif. Sejarah sebagaimana kisah dalam al-Quran, mengandung ibrah atau pelajaran. Penyimpangan atau penutupan sejarah dari fakta yang sebenarnya tentu akan menutupi ibrah yang mestinya didapat, yakni spirit Islam dalam perjuangan negeri ini.  Jadi bagaimana gambaran peran serta dan perjuangan umat Islam yang sebenarnya dalam sejarah negeri ini?
Tokoh-tokoh umat pada masa lalu, baik sebelum maupun setelah kemerdekaan Indonesia, sangat memahami bahwa setiap Muslim mempunyai kewajiban dalam amar makruf nahi mungkar, perjuangan mengusir penjajah dan menegakkan ‘izzul Islam wal Muslimin. Oleh karena itu, setiap langkah, gerak dan kegiatan yang mereka lakukan, sebagaimana dibuktikan dalam sejarah, selalu dijiwai, diwarnai dan didasari oleh semangat Islam. Andaipun ada semangat yang disebut nasionalisme maka nasionalisme di sini maknanya tidak lain adalah kecintaan pada negeri dan kesadaran untuk tidak membiarkan negeri Muslim dikuasai oleh kaum penjajah.
Itulah yang terjadi pada Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien ketika melawan Belanda, KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya, KH Wahid Hasyim dengan perjuangan untuk Islam sebagai dasar negara, KH Ahmad Dahlan untuk perjuangan pentingnya pendidikan Islami, atau para pahlawan terdahulu lainnya yang semua berjuang dengan spirit Islam Apakah itu bisa dianggap sebagai pengkhia-natan terhadap spirit perjuangan umat Islam?. Ya jelas, itu sebuah pengkhianatan; setidaknya sebuah penyimpangan atau penipuan sejarah.
Read More
Realitas Bangsa Indonesia: Makna Kemerdekaan Bagi Ummat Islam

Realitas Bangsa Indonesia: Makna Kemerdekaan Bagi Ummat Islam

Bulan ini bangsa Indonesia kembali memperingati hari kemerde-kaannya yang ke 72 tahun. Semarak menyambutnya telah nampak sejak jauh hari. Spanduk, bendera, umbul-umbul, dan baliho-baliho bertuliskan “Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia” menghiasi jalan-jalan raya. Semuanya menjadi semarak menyambut hari bersejarah itu. Namun di balik kesemarakannya, masih terselip berbagai pertanyaan di benak kita; benarkah kita sudah merdeka secara hakiki? apa makna kemerdekaan bagi kita? bagaimana kita mengisi kemerdekaan yang kita rasakan saat ini?. Sebelum kita melihat lebih jauh, ada baiknya kita mencoba mengingat kembali bagaimana kemerdekaan itu bisa hadir di negeri tercinta ini.
Ketika kita membuka kembali lembaran-lembaran sejarah bangsa ini, maka kita akan menemukan jejak Islam di setiap lembarannya. Ya, jejak perjuangan kaum muslimin dan para ulama yang menentang penindasan dan mengagungkan nama Islam. Bahkan perjuangan kemerdekaan tersebut telah ada jauh sebelum terbayangnya sebuah komunitas bernama Indonesia.
Dalam sejarah itu, kita dapat melihat bagaimana semangat jihad melebur ke dalam budaya masyarakat Indonesia, yang memang menjadi mayoritas muslim kala itu. Tampilnya para pejuang Islam di beberapa wilayah seperti ; di Aceh dengan Hikayat Perang Sabil-nya, di Jawa dengan dengan Pangeran Diponegoro yang hendak merdeka dan melawan penjajahan, di Makassar dengan Sultan Alauddin yang berdiri tegak mempertahankan kesulta-nannya dari rongrongan VOC, KH Hasyim Asy’ari dengan Resolusi Jihad-nya dan daerah-daerah lainnya, semuanya menjadi warna perjuangan dalam kemerdekaan bangsa kita.
Bertumpuk-tumpuk badan telah menjadi syahid, insyaa Allah. Bersahut-sahut takbir memanggil, mengantar nyawa mereka bercerai dari badannya, yang dengannya mereka mempertanggungjawabkan jihadnya di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bahkan, ketika perjuangan beralih ke zaman setelah itu, Islam tetap menjadi sumbu dari berputarnya usaha-usaha menuju kemerdekaan.
Tak heran, jika para ulama dan tokoh Islam, ketika memiliki kesempatan untuk mewarnai lahirnya Indonesia, mereka memanfaat-kannya dengan memperjuangkan Islam sebagai pondasi negara. Melalui Piagam Jakarta (Jakarta Charter), umat Islam mencoba menyalurkan citanya untuk menjadikan Indonesia sebagai negara merdeka yang bertauhid. Meskipun akhirnya pupus karena suatu sebab yang disesalkan para tokoh Islam waktu itu.
Makna Kemerdekaan Manusia sebagai makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala telah dianugerahi keistimewaan tersendiri yang tidak diperoleh oleh makhluk-makhluk lainnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami berimereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra’ : 70).
Salah Kaprah Pemahaman kemerdekaan yang sempit adalah ketika seorang hanya memandang bahwa kemerdekaan itu hanya ketika pasukan musuh berhasil dipukul mundur dari wilayah perbatasan sebuah bangsa. Ya, itu memang adalah bagian dari indikasi kemerdekaan, namun bukan esensi (pokok). Mengapa demikian? Hal ini karena penjajahan terhadap suatu negeri, bukan hanya berupa penghancuran negeri tersebut oleh pasukan musuh, dirampasnya berbagai kekayaan alam dan sumberdaya oleh para penjajah, dan semacamnya, melainkan dengan corak dan ragamnya yang banyak, dan bahkan lebih buruk dari bentuk penjajahan fisik tersebut.
Seberapa besar keuntungan yang diraih dengan kepulangan pasukan musuh ke negerinya, jika sistem kehidupan para penjajah, yang bertentangan dengan Islam dan jatidiri bangsa masih diterapkan di negeri ini? Jika demikian adanya, bukankah sebenarnya kita masih tetap dijajah, meski tidak dengan mesiu dan peluru? Memang, entah karena tidak tahu, lupa atau disengaja, masalah ini kerap dilupakan oleh generasi saat ini.
Maka, penjajahan dalam arti yang sebenarnya adalah upaya untuk menjauhkan dan menghalangi manusia untuk mengamalkan ajaran Islam secara kaffah (menyeluruh). Dari sini, kemerdekan itu sejatinya bersifat bertingkat-tingkat, antara satu individu atau komunitas dengan individu atau komunitas lainnya. Semuanya tergantung dari sejauh mana ia mampu menerapkan Islam dan nilai-nilainya yang agung dan mulia dalam hidup dan kehidupannya. Wallahu a’lam. Bentuk Penjajahan Corak dan ragam penjajahan itu bermacam-macam.
Pertama, iblis adalah penjajah yang paling berbahaya bagi manusia. Bahayanya seperti apa? Ia senantiasa berupaya untuk menyesatkan manusia dari jalan hidayah dan Islam hingga hari kiamat. Iblis berkata sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,
“Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (QS. Al-A’raf : 17).
Kedua, penjajah manusia yang tidak kalah bahayanya adalah nafsu dan syahwatnya, yang selalu mengajak kepada kejelekan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan” (QS. Yusuf : 53). Nafsu di sini adalah nafsu lawwamah yaitu jiwa yang selalu goncang, yang jika tidak diarahkan, akan mengantarkan manusia kepada keburukan. Nafsu dan syahwat seperti ini akan bisa diatasi di antaranya dengan ilmu (agama) untuk memperkuat ruhiyah.
Ketiga, penjajah dalam rupa dunia, juga kerap menampakkan kedigyantaraannya dalam menjajah jiwa manusia. Penjajah yang satu ini, tak puas-puas membuat ulah, padahal hampir semua darah yang tertumpah di permukaan bumi atas namanya. Ya, cinta dunia adalah racun dalam kehidupan umat manusia. Karena seorang yang cinta dunia dikhawatirkan akan membuang cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, demikian pula sebaliknya, seseorang yang cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak akan memberikan tempat bagi dunia itu menempel di hatinya.
Akhirnya, mari kita syukuri kemerdekaan ini dengan mempertahankan keutuhan jati diri bangsa ini dengan nilai-nilai Islam yang tinggi dan cinta kepada negeri ini sebagai negeri Islam. Dengan itu, insyaaAllah kita akan mampu meraih kejayaan di masa yang akan datang dan meneruskan sejarah bangsa ini menjadi sebuah “baldatun thayyibatun warabbun ghafuur“ yaitu sebuah negara dan bangsa yang meraih maghfirah (ampunan), kesejahteraan dan kedamaian dari Allah Subhanahu wa Ta’ala selama-lamanya. Amin…
Wallahu a’lam bishowwab…
Read More
Sejarah Bendara Merah Putih Republik Indonesia

Sejarah Bendara Merah Putih Republik Indonesia

Bendera Negara Republik Indonesia, yang secara singkat disebut Bendera Negara, adalah Sang Saka Merah Putih, Sang Merah Putih, Merah Putih, atau kadang disebut Sang Dwiwarna (dua warna). Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama.
Sejarah
Warna merah-putih bendera negara diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur pada abad ke-13.[1] Akan tetapi ada pendapat bahwa pemuliaan terhadap warna merah dan putih dapat ditelusuri akar asal-mulanya dari mitologi bangsa Austronesia mengenai Bunda Bumi dan Bapak Langit; keduanya dilambangkan dengan warna merah (tanah) dan putih (langit). Karena hal inilah maka warna merah dan putih kerap muncul dalam lambang-lambang Austronesia — dari Tahiti, Indonesia, sampai Madagaskar.
Merah dan putih kemudian digunakan untuk melambangkan dualisme alam yang saling berpasangan.[2] Catatan paling awal yang menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton; menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singhasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan, mungkin sejak masa Kerajaan Kediri. Pembuatan panji merah putih pun sudah dimungkinkan dalam teknik pewarnaan tekstil di Indonesia purba. Warna putih adalah warna alami kapuk atau kapas katun yang ditenun menjadi selembar kain, sementara zat pewarna merah alami diperoleh dari daun pohon jati, bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), atau dari kulit buah manggis.
Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih. Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya, bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.[3]
Menurut seorang Guru Besar sejarah dari Universitas Padjajaran Bandung, Mansyur Suryanegara semua pejuang Muslim di Nusantara menggunakan panji-panji merah dan putih dalam melakukan perlawanan, karena berdasarkan hadits Nabi Muhammad.[4][5] Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang-pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.[6]
Di zaman kerajaan Bugis Bone, Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone. Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.[7] Panji kerajaan Badung yang berpusat di Puri Pamecutan juga mengandung warna merah dan putih, panji mereka berwarna merah, putih, dan hitam[8] yang mungkin juga berasal dari warna Majapahit.
Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Kemudian, warna-warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa dan kemudian nasionalis di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme terhadap Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di Jawa pada tahun 1928. Di bawah pemerintahan kolonialisme, bendera itu dilarang digunakan. Bendera ini resmi dijadikan sebagai bendera nasional Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan diumumkan dan resmi digunakan sejak saat itu pula.[9]

Arti warna

Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti keberanian, putih berarti kesucian. Merah melambangkan raga manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan jiwa dan raga manusia untuk membangun Indonesia. Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Penjelasan :Warna merah mirip dengan warna gula jawa (gula aren) dan warna putih mirip dengan warna nasi.
Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba.

Peraturan tentang Bendera Merah Putih

Bendera negara diatur menurut UUD '45 pasal 35,[11] UU No 24/2009,[12] dan Peraturan Pemerintah No.40/1958 tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia.[13] Bendera Negara dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur dan dengan ketentuan ukuran:[12]
1.      200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan.
2.      120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum.
3.      100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan.
4.      36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden.
5.      30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara.
6.      20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum.
7.      100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal.
8.      100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api.
9.      30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara.
10. 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja.
11. 3 cm x 5 cm untuk penggunaan di seragam sekolah.
Pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara dilakukan pada waktu antara matahari terbit hingga matahari terbenam.[12] Dalam keadaan tertentu, dapat dilakukan pada malam hari.[12]
Bendera Negara wajib dikibarkan pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus oleh warga negara yang menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan, transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.[12]
Bendera Negara juga dikibarkan pada waktu peringatan hari-hari besar nasional atau peristiwa lain, yaitu:[12]
1.      Tanggal 2 Mei, hari Pendidikan Nasional;
2.      Tanggal 20 Mei, hari Kebangkitan Nasional;
3.      Tanggal 1 Oktober, hari Kesaktian Pancasila;
4.      Tanggal 28 Oktober, hari Sumpah Pemuda;
5.      Tanggal 10 November, hari Pahlawan;
6.      Peristiwa lain (yang dimaksud dengan “peristiwa lain” adalah peristiwa besar atau kejadian luar biasa yang dialami oleh bangsa Indonesia, misalnya kunjungan Presiden atau Wakil Presiden ke daerah dan pada perayaan dirgahayu daerah).
Bendera Negara wajib dikibarkan setiap hari di:[12]
1.      Istana presiden dan wakil presiden;
2.      Gedung atau kantor lembaga negara;
3.      Gedung atau kantor lembaga pemerintah;
4.      Gedung atau kantor lembaga pemerintah nonkementerian;
5.      Gedung atau kantor lembaga pemerintah daerah;
6.      Gedung atau kantor dewan perwakilan rakyat daerah;
7.      Gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
8.      Gedung atau halaman satuan pendidikan;
9.      Gedung atau kantor swasta;
10. Rumah jabatan presiden dan wakil presiden;
11. Rumah jabatan pimpinan lembaga negara;
12. Rumah jabatan menteri;
13. Rumah jabatan pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian;
14. Rumah jabatan gubernur, bupati, wali kota, dan camat;
15. Gedung atau kantor atau rumah jabatan lain;
16. Pos perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;
17. Lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia; dan
18. Taman Makam Pahlawan Nasional.
 
Momentum pengibaran bendera asli setelah deklarasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah dapat dipasang pada peti atau usungan jenazah presiden atau wakil presiden, mantan presiden atau mantan wakil presiden, anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, kepala perwakilan diplomatik, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia yang meninggal dalam tugas, dan/atau warga negara Indonesia yang berjasa bagi bangsa dan negara.[12]
Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.[12]
Setiap orang dilarang:[12]
1.      Merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;
2.      Memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
3.      Mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
4.      Mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
5.      Memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.
Referensi
2.      Austronesianist
3.      Ke Bakkara: Ziarah Sisingamangaraja.Kompas, Minggu, 14 Agustus 2005.http://www.kompas.com/kompas-cetak/0508/14/perjalanan/1940067.htm
4.      Imam Muslim berkata: Zuhair bin Harb bercerita kepadaku, demikian juga Ishaq bin Ibrahim, Muhammad bin Mutsanna dan Ibnu Basyyar. Ishaq bercerita kepada kami. Orang-orang lain berkata: Mu’adz bin Hisyam bercerita kepada kami, ayah saya bercerita kepadaku, dari Qatadah dari Abu Qalabah, dari Abu Asma’ Ar-Rahabiy, dari Tsauban, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah memperlihatkan kepadaku bumi, timur dan baratnya, dan Allah melimpahkan dua perbendaharaan kepadaku, yaitu merah dan putih. (Kitab Al-Fitan Jilid X, halaman 340 dari Hamisy Qastalani)
7.      Makna Saudagar bagi Saudagar yang tak Hadir :: Azhariah Rachman :: Panyingkul,Senin, 13-11-2006, http://www.panyingkul.com/view.php?id=249&jenis=kabarkita
8.      ian macdonald. "Flags in Bali". Diakses tanggal 20 September 2012.
9.      "Indonesia". Bendera Dunia. 06-09-2006. http://fotw.net/flags/id.html. Diakses pada 26 Desember 2007.
11. Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih.

Read More