'

Selamat Datang di Website Resmi Muhammad Akbar bin Zaid “Assalamu Alaikum Warahmtullahi Wabarakatu” Blog ini merupakan blog personal yg dibuat & dikembangkan oleh Muhammad Akbar bin Zaid, Deskripsinya adalah "Referensi Ilmu Agama, Inspirasi, Motivasi, Pendidikan, Moralitas & Karya" merupakan kesimpulan dari sekian banyak kategori yang ada di dalam blog ini. Bagi pengunjung yang ingin memberikan saran, coretan & kritikan bisa di torehkan pada area komentar atau lewat e-mail ini & bisa juga berteman lewat Facebook. Terimah Kasih Telah Berkunjung – وَالسٌلام عَلَيْكُم

Materi Tarbiyah Ta'rifiyah: Adab-Adab Tarbiyah



Ada 2 pembahasan pokok dari materi adab tarbiyah:
1.      Adab-adab pada saat bermajelis
2.      Bagaimana adab seorang mutarabiyah kepada murabbiyah
Meskipun biasanya dalam buku-buku para ulama masih ada tambahan yakni adab-adab murabbi terhadap mutarabbinya atau adab-adab murabbiyah pada saat bermajelis, namun cukup yang dijelaskan kepada mutarabbiyah adalah 2 poin di atas, karena ini adalah konsumsi untuk para murabbi saja.
Pembahasan adab-adab tarbiyah diambil dari buku-buku ulama kita yang menukil tentang adab-adab majelis dan adab para penuntut ilmu. Begitu banyak (belasan, puluhan bahkan ratusan) buku-buku ulama yang membahas tentang hal tersebut. Bahkan boleh dikata tidaklah ulama yang membahas tentang ilmu kecuali membahas persoalan adab-adab terutama para ulama hadits dalam buku-buku musthalah mereka membahas persoalan yang sangat penting ini karena adab bermajelis adalah suatu sebab keberkahan majelis tersebut kita dapatkan sehingga banyak ulama kita yang ketika mencoba mengamati keadaan majelis-majelis salaf, apa inti perbedaan antara majelis-majelis kita dengan mereka. Sekarang materi-materi yang kita bahas juga al Qur’an dan as Sunnah juga kita mau usahakan sesuai dengan pemahaman salaf. Materinya insaya Allah sama (buku yang kita gunakan adalah buku yang juga digunakan oleh ulama-ulama terdahulu), namun di antara sisi perbedaan yang sangat mencolok antara kita dengan mereka yakni persoalan adab, sehingga banyak majelis-majelis sekarang di berbagai tempat yang kadang melupakan persoalan ini. Sehingga keberkahan ilmu yang mereka miliki dulu tidak kita miliki di zaman sekarang ini. Hal ini menunjukkan pentingnya persoalan adab-adab dalam bertarbiyah. Apalagi, para ulama salaf memandang pembahasan adab adalah pembahasan yang paling awal sebelum kita terjun dalam pembahasan ilmu syar’i.
à Sebab keberkahan majelis didapatkan
à Pembahasan paling pertama sebelum terlalu jauh membahas ilmu-ilmu yang lain.
Ø Al Imam Abu Abdullah Sufyan ats Tsauri rahimahullahu Ta’ala, seorang tabi’ut tabi’in berkata, “Ulama salaf, mereka dulu tidak mengeluarkan/ mengutus anak-anak mereka untuk menuntut ilmu sampai diajarkan adab terlebih dahulu dan memperbanyak ibadah selama 20 tahun”
Jadi sebelum menuntut ilmu yang begitu banyak cabang-cabangnya dengan sangat detail para ulama salaf (yakni yang disaksikan oleh Al Imam Sofyan Ats Tsauri dari kalangan tabi’tabi’in), mereka tidak mengutus anaknya untuk menuntut ilmu kecuali telah selesai persoalan adab dan ibadah mereka yakni adab sebelum menuntut ilmu.

Ø  Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu Ta’ala (seorang tabi’I tabi’in), beliau menceritakan tentang diri beliau sendiri tentang metodenya dalam menuntut ilmu (Beliau adalah salah seorang ulama yang mengumpulkan seluruh cabang ilmu, dari ilmu hadits, qur’an, fiqh dan lain-lain. Beliau adalah sumber rujukan, di samping keutamaan yang lain dari sisi ibadah, infak, jihad, dst.) bagaimana metode beliau sehingga bisa mencapai tingkatan yang sangat mulia, beliau mengatakan: 
“Saya menuntut adab selama 30 tahun,dan menuntut ilmu hanya 20 tahun, dan mereka dulu mempelajari adab sebelum menuntut ilmu”
 Jadi ternyata metode beliau bukanlah metode yang beliau buat sendiri, tetapi merujuk dari orang-orang terdahulu yang berarti bahwa memang mereka (salaf) mendahulukan adab dibandingkan ilmu, bahkan ketika kita lihat lamanya, imam Abdullah bin Mubarak lebih lama belajar adab dibanding ilmu.
Ø  Muhammad bin Sirrin (seorang tabi’in) berkata;
“Mereka dulu mempelajari adab sebagaimana mempelajari ilmu”

Jangan sampai kita sendiri lupa dengan adab-adab yang kita ajarkan kepada mutarabbi kita.
§  Adab-adab Bermajelis
1.      Memilih majelis
Untuk dijelaskan kepda mutarabbi, bahwa kita harus memilih majelis (tidak semua majelis yang dibuat manusia sekarang ini perlu untuk kita hadiri dan kita semarakkan)
Kita perlu mengajarkan mereka dari awal untuk selektif dalam memilih majelis dan itu telah dijelaskan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Hadits Abu Musa Al Asy’ari yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim;
Perumpamaan antara teman duduk yang baik dengan teman duduk yang buruk seperti perumpamaan penjual minyak wangi dan tukang besi atau semacamnya”.
Intinya, ketika berteman dangan teman penjual minyak wangi (teman yang shalih) maka kita akan mendapatkan 3 kebaikan:
1.      Ia akan menghadiahkan kepada kita minyak wanginya, (ia akan memberikan kita faedah tanpa diminta)
2.      Kita akan membeli dari dia minyak wanginya karena dia teman kita; tidak membeli di tempat lain; dimana kalau kita beli dari teman maka ada harga khusus. Maksudnya tidak begitu sulit bagi kita untuk meminta faidah darinya, contohnya nasehatnya, dll, tanpa terlalu banyak permintaan.
3.      Kita akan mendapatkan darinya bau yang harum artinya mungkin ia tidak langsung memberikan atau menghadiahi nasehat kepada kita dan kita mungkin yang agak segan langsung memintanya tetapi paling tidak posisi kita yang dekat dengannya itu bisa membantu diri kita untuk bisa istiqamah. (tidak mau macam-macam selama berada di sisinya).
Jadi, sangat penting untuk mengkondisikan kita berkumpul dan bermajelis bersama dengan orang yang beriman dengan majelis yang baik.
Hadits dari Abu Hurairah Radiyallahu anhu yang diriwayatkan oleh imam Tirmidzi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Seseorang itu sangat bergantung pada agama temannya, maka perhatikanlah kepada siapa kamu berteman”
Dalil tersebut jelas memerintahkan kepada kita untuk memilih teman (tidak sembarang dalam memilih teman dalam bermajelis) pilih teman yang bisa membantumu untuk istiqamah.
Di antara yang harus dijelaskan adalah untuk lebih selektif. Tapi kita harus menjelaskan kepada mereka dengan cara yang lembut, sehingga kita tidak dikatakan sebagai orang yang ashabut tahdzir.
Agar mereka tidak sembarangan memilih majelis. Bukan dengan melihat penampilan saja, seperti majelis-majelis yang banyak melucu, dst.
Berinfak dalam bermajelis
Hal ini tidak didapatkan dalam buku-buku tentang adab, sehingga berinfak dalam majelis bukan merupakan bagian dari adab tetapi bagian dari kebutuhan dan pelengkap karena dalil yang digunakan dahulu itu adalah dalil umum. Sehingga infak bisa disebutkan dalam sisi lain namun bukan disebutkan dalam sisi adab.
Perintah berinfak dalam QS al Mujadilah dikhususkan bagi Rasulullah, jadi tidak disebutkan sebagai salah satu adab dalam bermajelis.
2.      Memperbanyak dzikir kepada Allah
Ini perlu kita lakukan agar majelis kita tidak berubah fungsinya menjadi sekedar pertemuan melepaskan kerinduan yang akhirnya bahan obrolannya tidak karuan kesana kemari dan lupa berdzikir. Sehingga kita perlu mengkondisikan diri kita dan mutarabbiyah kita untuk senantiasa berdzikir kepada Allah.
Imam Abu Daud, Imam At Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abdullah Bin Umar Radiyallahu Anhuma berkata,
“Kami dulu biasa menghitung dalam satu majelis saja yang diadakan yang Rasulullah biasa membacanya sebanyak 100 kali. Beliau membaca Rabbigfirli watublayya innaka antattawwaburrahim.”
Ancaman majelis yang kosong dengan dzikir disebutkan Imam Abu Daud dalam sunannya hadits riwayat Abu Hurairah
“Tidaklah dari suatu kaum yang berdiri dari suatu majelis tapi majelisnya tidak ada zikirnya kecuali mereka yang bangkit adalah bangkai-bangkai keledai, bagi mereka adalah kerugian.”
Dan tentu saja kita tidak sepemahaman dengan dzikir berjamaah.

Di antara dzikir yang penting yakni memperbanyak shalawat. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam mengatakan,
“Tidaklah duduk suatu kaum dalam majelis lalu di dalamnya mereka tidak berdzikir kepada Allah dan tidak bershalawat kepada nabi mereka kecuali bagi mereka kerugian. Kalau Allah menginginkan Allah siksa mereka dan kalau Allah menginginkan Allah mengampuni dosa-dosa mereka.”
Karena itu hal yang perlu kita ingatkan kepada mutarabbiyah kita terutama dengan adanya syubhat-syubhat dzikir berjamaah mereka yang menyebarkan pemahaman dzikir berjamaah kebanyakan membawa hadits…
Padahal kita perlu memahamkan kembali dan menegaskan kepada para mutarabbiyah kita bahwa majelis ilmu itu adalah maje0lis dzikir. Oleh karena itu, Atho bin Rabah, muftinya orang Mekkah mengatakan tentang majelis dzikir yang disebutkan dalam banyak hadits, beliau berkata yang dimaksud adalah majelis ilmu. Jadi hendaknya tidak menghadiri majelis yang tidak sesuai dengan sunnah.
3.      Berpenampilan yang sebaik-baiknya
Perlu juga diajarkan di awal kepada para mutarabbiyah kita agar penampilannya dalam menghadiri majelis yang di dalamnya ada tarbiyah tsaqafiyah berbeda ketika ia menghadiri majelis tarbiyah jasadiyah. Apalagi bila majelisnya di masjid.
QS. 7 : 3
Wahai Bani Adam pakailah pakaian terindahmu ketika engkau memasuki masjid
Sebagai salah satu dalil yang digunakan untuk menutup aurat ketika shalat. Dalam hal ini tidak hanya mengkhususkan persoalan pakaian.
Hadits Jibril alaihis salam (hadits ke 2 dalam hadits Arbain Annawawiyah) ketika beliau datang mengunjungi para sahabat untuk menjelaskan persoalan bagaimana cara bermajelis yang baik. Di antaranya penampilan Jibril yang patut untuk menjadi perhatian kita adalah apa yang disifatkan oleh Umar bin Khattab, beliau mengatakan, “Berpenampilan yang terbaik, pakaian yang sangat putih, rambut yang sangat hitam………”
Dalam buku-buku ulama ada yang sangat detail dalam menyebutkan persoalan ini, di antaranya memotong kuku, merapikan janggut dsb pada saat menghadiri majelis ilmu. Tapi tanpa menjelaskan lebih detail para mutarabbiyah dapat mengambil manfaat atau pelajaran dari murabbiyahnya. Karena murabbiyah itu adalah  contoh yang terbaik bagi mutarabbiyahnya.
4.      Penghormatan / Mengucapkan salam kepada hadirin pada saat tiba di majelis dan pada saat pulang
Ucapan salam adalah ucapan yang disyariatkan pada saat menghadiri majelis (ketika masuk dan pada saat meninggalkannya). Dan ini tidak bertentangan dengan pendapat sebagiannya. Para ulama memandang tidak mesti mengucapkan salam pada saat memulai majelis dzikir karena mungkin telah dating lebih dahulu dan telah mengucapkan salam pada saat  memasuki majelis.
Tetapi tidak masalah ketika kita memulai majelis dengan salam, namun perlu diingat hadits-hadits yang menunjukkan disyariatkannya salam hanya pada saat masuk dan ketika hendak meninggalkan majelis.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“ Jika salah seorang diantara kalian masuk majelis maka ucapkanlah salam, dan apabila mau duduk maka dipersilahkan, dan jika ia berdiri ingin pulang maka hendaklah ia memberi salam.salam yang pertama tidak lebih berhak dari salam yang kedua.”
Rasulullah masuk masjid pada saat sudah mau khutbah, maka pada saat masuk majelis beliau langsung mengucapkan “ Assalamu ‘alaikum” lalu beliau duduk, adzan dan ketika selesai adzan beliau memulai ceramahnya tanpa mengucapkan salam kembali karena sebelumnya beliau telah salam pada saat masuk majelis. Dan mengakhiri khutbahnya beliau tidak salam karena memang beliau belum mau pergi (masih di masjid), beliau mengucapkan salam pada saat  mau meninggalkan masjid.
Salam kepada hadirin peserta tarbiyah boleh tetapi boleh juga kepada orang-orang yang di dekatnya saja (kalau dikhawatirkan akan mengganggu jika setiap orang yang baru datang mengucapkan salam).
Satu  sunnah yang juga perlu diangkat adalah berjabat tangan, hadits-hadits yang menunjukkan syariat berjabat tangan yang hanya pada saat kita bertemu dan tidak ada hadits yang tegas pada saat berpisah, hanya ada sebuah hadits saja yaitu:
“ Kesempurnaan ucapan salam adalah berjabat tangan.”
Hadits ini dihasankan oleh sebagian ulama kita, dan syaikh Al Albani berkata hadits ini sanadnya lemah tapi maknanya benar sehingga beliau memandang tidak mengapa, bahkan baik, beliau anjurkan saat berpisah kita mengucapkan salam.
Faedahnya: eratnya hubungan, menghilangkan dengki dan merupakan salah satu menambah rasa cinta kepada saudara kita.
5.      Dimakruhkannya membangunkan atau menyuruh berdiri seseorang dari majelis tempat duduknya kemudian ia duduk di tempat temannya tersebut.
Hukum makruh dalam hal ini kemungkinannya ada 2, makruh yang memang makruh atau makruh yang haram. Untuk amannya kita gunakan makruh saja. Bisa saja hukumnya haram, ataukah sangat dibenci.
Dari ibnu Umar, “ Tidaklah boleh seseorang menyuruh orang lain untuk berdiri lalu ia mengambil tempat duduknya, ”
Kalau kita mau maka kita minta dilapangkan. Kecuali jika seseorang memberikan kita kesempatan sebelumnya kepada kita tanpa kita menyuruh dia.

6.      Berlapang-lapang dalam majelis
Ada kaitannya dengan point yang ke-3 dari terakhir, sebaik2 majelis yang paling luas, yang paling lapang.
-          Kita berusaha mencari t4 yang paling ,uas yang memuat banyak hadirin. Karena masalah kelapangan majelis mempengaruhi kondisi hati kita.
-          Hanya saja jika tempatnya memang tidak muat maka pada saat itu kita harus berlapang-lapang dalam majelis (memberi kesempatan kepada saudari kita untuk bermajelis). Inilah maksud dari QS. Al Mujadilah : 3.
Hal yang perlu untuk diingat:
Jika ada seseorang yang bangkit dari tempat duduknya kemudian dia akan kembali di tempat duduk itu, maka ia lebih berhak untuk duduk di majelis tersebut.
Ada kebiasaan ikhwah kita bila berdiri dari majelis dan berniat kembali lagi mereka menyimpan barang (mis. songkok) sebagai tanda bahwa ia akan kembali. Namun hal ini kita belum mendapat adanya dalil tentang ha tersebut, dalam artian tidak harus begitu.
Abdullah bin Umar setiap melihat seseorang keluar dari majelis beliau tidak mau mengambil tempat duduknya, walaupun beliau tidak tahu orang tersebut akan kembali atau tidak. Inilah sikap kehati-hatian. Atau sebaiknya bila ada yang mau keluar, kita tanya terlebih dahulu apakah ia akan kembali atau tidak. Tetapi kalau tidak ada jawaban maka jalan hati-hati adalah jangan mengambil tempat duduknya.

7.      Anjuran untuk berkumpul di dalam sebuah majelis dan tidak berpencar pada saat bermajelis.
Hadits Riwayat Imam Muslim ”Ketika nabi Shallallahu ’alaihi wasallam melihat halaqah yang banyak,Nabi berkata:
”Mengapa kalian berpencar pada saat bermajelis?”
Hal ini kadang terjadi pada saat majelisnya agak luang.
Ada riwayat yang insya Allah shahih yang menceritakan tentang sahabat mengatakan bahwa, karena rapatnya sebuah majelis jika sekiranya ada daun jatuh maka daunnya tidak akan jatuh menyentuh tanah. Berarti tidak adanya tempat yang kosong dalam majelisnya.
Tadi dikatakan bahwa mencari majelis yang lapang, yang bisa memuat sebanyak-banyak hadirin. Maksudnya bahwa masing-masing lapang dalam mengisi ujung majelis. Ada kebiasaan yang tidak baik, yaitu masing-masing mencari tiang. Seakan tiang untuk para senior, dan bagian depan diisi oleh yang muda. Ini adalah kebiaaan yang tidak perlu untuk dilestarikan.
Hal ini memberikan kesan menandakan eratnya ukhuwah, terutama rapatnya dalam shaf ketika shalat. Ketika berjauhan sepeertnya ada masalah antara kita dengan saudara kita.

8.      Tidak memisahkan antara 2 orang kecuali meminta izin kepada keduanya.
Hadits dari Abdullah bin Amr bin Ash, Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam berkata:
”Tidak halal bagi seseorang, memisahkan dua orang kecuali atas izin keduanya” Meskipun ada tempat yang agak lowong di antara keduanya.Dengan kata lain kita harus meminta izin kepada keduanya. Jika mereka berkeberatan maka tidak boleh ita duduk di antara mereka. Hal ini adalah hal yang diharamkan.
Kita duduk di tempat pemberhentian majelis atau akhir dari majelis. Jangan kita mau lompat ke depan.
Dari Abu Dawud berkata:
”Kami para sahabat jika kamu mendatangi Rasulullah, salah seorang di antara kami duduk di tempat perhentiannya.”
Maka sunnah, barangsiapa yang datang di awal mengambil posisi di depan.

9.      Bolehnya ke depan bagi yang melihat di depannya ada tempat yang lowong tanpa menyakiti orang lain.
Dari hadits riwayat Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam HR Imam Bukhari tentang kisah tiga orang pemuda yang datang melewati majelis Rasulullah tersebut. Tiga orang tersebut adalah:
-          Melihat tempat/majelis Rasulullah langsung bergabung dan melihat yang kosong maka ia langsung ke depan.
-          Bergabung juga di tempat lowong  tapi ia agak malu-malu, maka ia menyelinap di majelis dengan agak malu-malu.
-          Yang tidak peduli dengan majelis ilmu, dia melihat majelis Rasulullah tapi ia tidak mempunyai keinginan dan minat dengan majelis tersebut.
Nabi ketika menjelasakn ketiga orang tersebut mengatakan:
Orang pertama adalah orang yang berlindung kepada Allah, maka Allah melindunginya, orang yang kedua bergabung dalam majelis tapi malu-malu, maka Allah juga malu terhadapnya, sedangkan orang yang ketiga ia berpaling maka Allah juga bepaling darinya.
Imam Bukhari ketika menjelaskan hadits ini memberikan judul bolehnya ke depan jika melihat ada lowong di depan, tetapi sekali lagi jangan sampai menyakiti orang lain sebagaimana ketika Nabi melihat adanya orang yang mau ke depan, beliau berkata: ”Duduk saja, kamu telah menyakiti banyak orang”.


10.  Menjauhkan diri dari duduk yang dilarang
Duduk yang paling bagus adalah duduk iftirasy atau seperti duduknya Jibril alaihis salam di hadapan Rasulullah ketika datang untuk menjelaskan konsep keimanan kepada para sahabat.
Duduk yang dilarang oleh Rasulullah pada saat bermajelis adalah ada dua, yaitu:
-          Duduk di mana seseorang meletakkan tangan kirinya ke belakang lalu ia bersandar pada tangan kirinya tersebut atau bertopang dengannya.
Hadits Rasulullah dari Sunan Abu Dawud dari Syahid bin Fulaid, beliau berkata ”Rasulullah melewati aku dan pada waktu itu aku duduk di sini, saya meletakkan tangan kiriku di belakang punggungku dan saya bertopang dengannya. Kemudian Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Apakah kamu mau duduk dengan duduknya orang yang Allah murkai?”
Syaikh Utsaimin mengatakan:
Hadits ini menunjukkan bahwa jika kita menggunakan tangan kanan maka itu tidak mengapa atau kedua-duanya jika kita memiliki hajat namun tidak untuk dilakukan terus-menerus, dan pada saat diperlukan saja.
-          Duduk di tempat yang sebagian badannya terkena matahari dan sebagian lainnya terlindungi.
Sunan Abu Dawud dari Abu Hurairah Radhiyallahu ’anhu, Abul Qasim Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda: ”Jika salah seorang diantara kamu berada di matahari dan sebagian lainnya dinaungi, maka ia harus bangkit darinya.”
Wallahu a’lam ketika dalam hal darurat.

11.  Menutup majelis dengan doa kafaratul majelis.
Menutup majelis dengan membaca Subhanakallahumma wabihamdika Asyahadu anla ilaha ilal anta wa astagfiruka wa atubu ilaik.
Doa ini merupakan khatam dan penghapus dosa dalam majelis.
Jadi tidak ada hadits yang shahih yang menjelaskan bahwa do’a penutup majelis adalah subhanakallahumma Rabbana...karena ini merupakan doa ruku’ dan sujud.
Adapun  membaca ”Subhana Rabbika Rabbil izzati amma yasifuun.... ” dilemahkan sanadnya.
Abdullah bin Umar Radiyallahu Anhuma mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah sama sekali atau jarang berdiri dari majelisnya kecuali membaca doa ” Allahummagfirlana minkhasyatika....”

§  Adab-adab mutarabbi kepada murabbinya
1.      Menjaga kehormatannya
Hadits dari Ubadah bin Qamud :
 ”Bukanlah golongan kami orang yang tidak memuliakan/menghormati orang tua dari kami, dan tidak menyayangi orang yang muda, dan orang yang tidak tahu memberi hak kepada orang yang alim diantara kami”.[HR Imam Ahmad, dihasankan oleh Syaikh al Albani]
Orang alim di sini termasuk juga murabbi.
Abdullah bin Abbas pernah memegang tali kekang hewan tunggangan Zaid bin Tsabit, kemudian Zaid bin Tasbit merasa risih akan hal ini karena Abdullah bin Abbas walaupun masih kecil tapi ia adalah seorang alim dan seorang ahlul bait sampai beliau (Zaid bin Tsabit) mau turun tapi Abdullah bin Abbas mengatakan kami diperintahkan bersikap baik kepada ulama dan orang tua kami.
Ini sebagai bentuk rasa terima kasih atau syukur kita akan ilmu yang telah mereka sampaikan. 

2.      Menulis apa yang dikatakan murabbi
Dari Abdullah bin Umar, dari Anas bin Malik dari Umar bin Khattab Rasulullah bersabda,
 ”Ikatlah ilmu dengan menulis” HR. Imam Baihaqi.
Asy Sya’di mengatakan  ”Bila kau mendengarkan satu ilmu maka tulislah walaupun itu di dinding atau di tembok. Jangan pernah engkau meninggalkan suatu ilmu kecuali engkau telah menulisnya”
3.      Mendengarkan apa yang disampaikan oleh murabbi
Umar bin Khattab mengatakan:
”Jadilah kamu orang alim atau mutaallim atau mustami’ (pendengar) dan jika kamu menjadi yang ke empat maka kamu celaka”.
Abu Darda mengatakan:
 ”Tidak apa-apa menjadi orang yang keempat, tapi orang yang keempat adalah simpatisan. Dan jangan menjadi orang yang kelima karena kamu akan binasa. Mustami’ artinya mendengarkan murabbiyah dengan kesan menempatkannya di tempat yang tinggi (menghormatinya).
Salah satu sikap tersebut adalah bersikap tawadhu seperti Abdullah bin Abbas yang begitu tawadhu terhadap guru-gurunya,  meskipun gurunya sendiri kadang risih sebab mereka tahu bahwa Ibnu Abbas lebih ’alim dari mereka, namun ibnu abbas sendiri tidak mau memberikan kesan seperti itu. Dan inilah yang juga harus senantiasa diingatkan kepada mutarabbiyah-mutarabbiyah kita tentang bagaimana menghormati murabbinya.
4.      Memuliakan dan bersungguh-sungguh dalam berkhikmat kepada murabbi
5.      Tidak mendahului dari ustadz-ustadznya (jangan menimpali jika ada yang disampaikan oleh murabbiyah),
Walaupun posisi Rasulullah tidaklah persis sama dengan posisi guru sekarang namun paling tidak seorang murid tidak boleh mendahului ustadznya dalam segala sesuatu. Ini juga dicontohkan oleh sikap nabi Musa terhadap nabi Khidr dimana beliau selalu meminta izin dulu, sampai-sampai ketika mau belajar kepada nabi Khidr pun beliau meminta izin terlebih dahulu.
6.      Bermulazamah atau dekat kepada murabbiyah dengan tujuan :
·         Mengambil manfaat dari adabnya
·         Mengambil manfaat dari ilmunya
Kata imam Syafi’i, salah satu cara untuk mendapatkan ilmu adalah dengan banyak menemani ustadz dalam waktu yang panjang. Ini yang seharusnya diajarklan kepada mutarabbiyah untuk banyak bermulazamah dengan murabbinya, sehingga dia bisa mendapatklan banyak ilmu, baik ilmu yang disampaikan secara langsung maupun ilmu berupa adab-adab Rasulullah yang dicontohkan langsung oleh seorang murabbiyah dalam kehidupan sehari-harinya.
Ibrahim an Nasa’i pernah mengatakan ”kami mendatangi Masruq bin Ajra’ salah seorang murid dari Abdullah bin Mas’ud (salah seorang tabi’in), lalu kami belajar dari akhlak dan budi pekertinya”.
Inilah di antara manfaat dekat dengan murabbi.
Abdullah bin Wahab (beliau termasuk perawi yang paling tsiqah terhadap Imam Malik) mengatakan ”yang saya pelajari dari Imam Malik dari adabnya lebih banyak kemudian ilmunya”
 Padahal tentu saja begitu banyak ilmu Imam Malik yang bisa diserap tapi beliau mengatakan saya lebih banyak belajar adabnya daripada ilmunya. Jadi beliau tidak belajar ilmu saja tetapi juga merekam bagaimana adaba-adab yang diajarkan oleh guru tersebut.
Husain bin Ismail dari bapaknya, beliau menceritakan ”majelis Imam Ahmad dihadiri oleh sekitar lima ribu lebih orang dan hanya sekitar lima ratus orang yang menulis ilmu yang disampaikan, dan selebihnya hadir untuk sekedar mempelajari adab dan perilaku imam Ahmad”.
Kadang untuk mengenal adabnya Syeikh Utsaimin kita melihat siapa muridnya yang terdekat.
7.      Beradab pada saat duduk di depan murabbi dengan cara mengkonsentrasikan pemikiran kita kepadanya, menghadirkan seluruh panca indra kita.
Hasan bin Ali (cucu Rasulullah) pernah menasehati anaknya dengan mengatakan ”wahai anakku jika engkau menghadiri majelis para ulama maka hendaknya engkau lebih bersemangat mendengar daripada berbicara, jangan mengambil sikap diam dan jangan engkau memotong pembicaraan seseorang hingga dia berhenti berbicara”.
Jadi hendaknya kita duduk dengan cara yang terbaik yang menunjukkan perhatian kita terhadap apa yang disampaikan.
8.      Bersikap sabar terhadap murabbi dalam segala hal.
Termasuk dalam hal penyampaian ilmu dari murabbi, sebab terkadang ada murabbi yang menahan ilmunya atau menunda penjelasannya meski tetap akan disampaikan. Ini dicontohkan dengan kesabaran Umar bin Khattab ketika terjadi peristiwa Jibril. Beliau mengetahui tentang siapa yang datang setelah tiga hari, padahal sebenarnya beliau sangat ingin mengetahuinya namun beliau bersabar hingga Rasulullah sendiri yang menyampaikannya.
9.      Mendengarkan dengan baik
Satu perkataan dari Atha’ bin Abi Rabah (thabi’in yang hidup di Mekah) beliau mengatakan ”sesungguhnya aku kadang mendengarkan hadits dari seseorang padahal aku lebih mengetahuinya dari dia, namun aku menampakkan seolah-olah aku tidak mengetahui hadits tersebut sama sekali”,
Dalam perkataan yang lain beliau menyampaikan ”sesungguhnya aku kadang mendengarkan seorang pemuda berbicara tentang suatu hadits lalu saya memperhatikan perkataannya seakan-akan belum pernah mendengarkan hadits itu sebelumnya padahal sya telah mendengarkan hadits itu sebelum anak muda itu lahir.
Ini perlu diajarkan kepada mutarabbiyah, kadang dalam tarbniyah murabbiyah menyampaikan sesuatu yang mungkin sudah pernah ia dengar sebelumnya maka seorang mutarabbi jangan menunjukkan kesan tidak membutuhkannya lagi.
Firman Allah, ”dan berilah peringatan, sesungguhnya peringatan itu selalu saja dibutuhkan oleh orang yang beriman”.  

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Materi Tarbiyah Ta'rifiyah: Adab-Adab Tarbiyah"