Islam Rahmatal Lil'Alamin
Benar bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin.
Namun banyak orang menyimpangkan pernyataan ini kepada pemahaman-pemahaman yang
salah kaprah. Sehingga menimbulkan banyak kesalahan dalam praktek beragama
bahkan dalam hal yang sangat fundamental, yaitu dalam masalah aqidah.
Pernyataan bahwa Islam adalah agamanya yang rahmatan
lil ‘alamin sebenarnya adalah kesimpulan dari firman Allah Ta’ala,
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai
Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. Al Anbiya:
107)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam diutus
dengan membawa ajaran Islam, maka Islam adalah rahmatan lil’alamin,
Islam adalah rahmat bagi seluruh manusia.
Secara
bahasa, rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (Lihat Lisaanul
Arab, Ibnul Mandzur). Atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan
dengan kasih sayang. Jadi, diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
Penafsiran
Para Ahli Tafsir
1.
Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam Tafsir Ibnul Qayyim:
“Pendapat yang lebih benar dalam menafsirkan ayat ini adalah
bahwa rahmat disini bersifat umum. Dalam masalah ini, terdapat dua penafsiran:
Pertama: Alam semesta secara umum mendapat
manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam.
Orang yang mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia
dan akhirat sekaligus. Orang kafir yang memerangi beliau, manfaat yang mereka
dapatkan adalah disegerakannya pembunuhan dan maut bagi mereka, itu lebih baik
bagi mereka. Karena hidup mereka hanya akan menambah kepedihan adzab kelak di
akhirat. Kebinasaan telah ditetapkan bagi mereka. Sehingga, dipercepatnya ajal
lebih bermanfaat bagi mereka daripada hidup menetap dalam kekafiran.
Orang kafir yang terikat perjanjian dengan beliau, manfaat
bagi mereka adalah dibiarkan hidup didunia dalam perlindungan dan perjanjian.
Mereka ini lebih sedikit keburukannya daripada orang kafir yang memerangi Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa sallam.
Orang munafik, yang menampakkan iman secara zhahir saja,
mereka mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan
mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum
waris dan hukum yang lain.
Dan pada umat manusia setelah beliau diutus, Allah Ta’ala
tidak memberikan adzab yang menyeluruh dari umat manusia di bumi.
Kesimpulannya, semua manusia mendapat manfaat dari diutusnya Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa sallam.
Kedua: Islam adalah rahmat bagi setiap
manusia, namun orang yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat
di dunia dan di akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya. Sehingga bagi orang
kafir, Islam tetap dikatakan rahmat bagi mereka, namun mereka enggan menerima.
Sebagaimana jika dikatakan ‘Ini adalah obat bagi si fulan yang sakit’. Andaikan
fulan tidak meminumnya, obat tersebut tetaplah dikatakan obat”
2.
Muhammad bin Ali Asy Syaukani dalam Fathul Qadir:
“Makna ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai
Muhammad, dengan membawa hukum-hukum syariat, melainkan sebagai rahmat bagi
seluruh manusia tanpa ada keadaan atau alasan khusus yang menjadi
pengecualian’. Dengan kata lain, ‘satu-satunya alasan Kami mengutusmu, wahai
Muhammad, adalah sebagai rahmat yang luas. Karena kami mengutusmu dengan
membawa sesuatu yang menjadi sebab kebahagiaan di akhirat’ ”
3.
Muhammad bin Jarir Ath Thabari dalam Tafsir Ath Thabari:
“Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna ayat ini,
tentang apakah seluruh manusia yang dimaksud dalam ayat ini adalah seluruh
manusia baik mu’min dan kafir? Ataukah hanya manusia mu’min saja? Sebagian ahli
tafsir berpendapat, yang dimaksud adalah seluruh manusia baik mu’min maupun
kafir. Mereka mendasarinya dengan riwayat dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu dalam
menafsirkan ayat ini:
“Siapa saja yang beriman kepada Allah dan
hari akhir, ditetapkan baginya rahmat di dunia dan akhirat. Namun siapa saja
yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, bentuk rahmat bagi mereka adalah
dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu, seperti mereka semua
di tenggelamkan atau di terpa gelombang besar”
Dalam riwayat yang lain:
“Rahmat
yang sempurna di dunia dan akhirat bagi orang-orang yang beriman kepada
Rasulullah. Sedangkan bagi orang-orang yang enggan beriman, bentuk rahmat bagi
mereka adalah dengan tidak ditimpa musibah yang menimpa umat terdahulu”
Pendapat ahli tafsir yang lain mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah orang-orang beriman saja. Mereka membawakan riwayat dari Ibnu
Zaid dalam menafsirkan ayat ini:
“Dengan diutusnya Rasulullah, ada manusia
yang mendapat bencana, ada yang mendapat rahmah, walaupun bentuk penyebutan
dalam ayat ini sifatnya umum, yaitu sebagai rahmat bagi seluruh manusia.
Seluruh manusia yang dimaksud di sini adalah orang-orang yang beriman kepada
Rasulullah, membenarkannya dan menaatinya”
Pendapat yang benar dari dua pendapat ini adalah pendapat
yang pertama, sebagaimana riwayat Ibnu Abbas. Yaitu Allah mengutus Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai rahmat bagi seluruh
manusia, baik mu’min maupun kafir. Rahmat bagi orang mu’min yaitu Allah
memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan orang-orang
beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran Allah.
Sedangkan rahmat bagi orang kafir, berupa tidak disegerakannya bencana yang
menimpa umat-umat terdahulu yang mengingkari ajaran Allah” (diterjemahkan
secara ringkas).
4.
Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi dalam Tafsir Al Qurthubi
“Said bin Jubair berkata: dari Ibnu Abbas, beliau berkata:
“Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
adalah rahmat bagi seluruh manusia. Bagi yang beriman dan membenarkan ajaran
beliau, akan mendapat kebahagiaan. Bagi yang tidak beriman kepada beliau,
diselamatkan dari bencana yang menimpa umat terdahulu berupa ditenggelamkan ke
dalam bumi atau ditenggelamkan dengan air”
Ibnu Zaid berkata:
“Yang dimaksud ‘seluruh manusia’ dalam ayat
ini adalah hanya orang-orang yang beriman” ”
5.
Ash Shabuni dalam Shafwatut Tafasir
“Maksud ayat ini adalah ‘Tidaklah Kami mengutusmu, wahai
Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk’. Sebagaimana dalam
sebuah hadits:
“Sesungguhnya aku adalah rahmat yang
dihadiahkan (oleh Allah)” (HR. Al Bukhari dalam Al ‘Ilal Al Kabir
369, Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman 2/596. Hadits ini di-shahih-kan
Al Albani dalam Silsilah Ash Shahihah, 490, juga dalam Shahih Al
Jami’, 2345).
Orang yang menerima rahmat ini dan bersyukur atas nikmat
ini, ia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Allah Ta’ala tidak mengatakan ‘rahmatan
lilmu’minin‘, namun mengatakan ‘rahmatan lil ‘alamin‘ karena Allah Ta’ala
ingin memberikan rahmat bagi seluruh makhluknya dengan diutusnya
pemimpin para Nabi, Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Beliau
diutus dengan membawa kebahagiaan yang besar. Beliau juga menyelamatkan manusia
dari kesengsaraan yang besar. Beliau menjadi sebab tercapainya berbagai
kebaikan di dunia dan akhirat. Beliau memberikan pencerahan kepada manusia yang
sebelumnya berada dalam kejahilan.
Beliau memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya
berada dalam kesesatan. Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi
seluruh manusia. Bahkan orang-orang kafir mendapat manfaat dari rahmat
ini, yaitu ditundanya hukuman bagi mereka. Selain itu mereka pun tidak lagi
ditimpa azab berupa diubah menjadi binatang, atau dibenamkan ke bumi, atau
ditenggelamkan dengan air”
Pemahaman
Yang Salah Kaprah
Permasalahan muncul ketika orang-orang menafsirkan ayat ini
secara serampangan, bermodal pemahaman bahasa dan logika yang dangkal. Atau
berusaha memaksakan makna ayat agar sesuai dengan hawa nafsunya. Diantaranya
pemahaman tersebut adalah:
1.
Berkasih sayang dengan orang kafir
Sebagian orang mengajak untuk berkasih sayang kepada orang
kafir, tidak perlu membenci mereka, mengikuti acara-acara mereka, enggan
menyebut mereka kafir, atau bahkan menyerukan bahwa semua agama sama dan benar,
dengan berdalil dengan ayat:
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad,
melainkan sebagai rahmat bagi alam semesta” (QS. Al Anbiya: 107)
Padahal bukan demikian tafsiran dari ayat ini. Allah Ta’ala
menjadikan Islam sebagai rahmat bagi seluruh manusia, namun bentuk rahmat
bagi orang kafir bukanlah dengan berkasih sayang kepada mereka. Bahkan telah
dijelaskan oleh para ahli tafsir, bahwa bentuk rahmat bagi mereka adalah
dengan tidak ditimpa musibah besar yang menimpa umat terdahulu. Inilah bentuk
kasih sayang Allah terhadap orang kafir, dari penjelasan sahabat Ibnu Abbas Radhiallahu’anhu.
Bahkan konsekuensi dari keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya
adalah membenci segala bentuk penyembahan kepada selain Allah, membenci
bentuk-bentuk penentangan terhadap ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa
sallam, serta membenci orang-orang yang melakukannya. Sebagaimana firman
Allah Ta’ala
“Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara
ataupun keluarga mereka” (QS. Al-Mujadalah: 22)
Namun perlu dicatat, harus membenci bukan berarti harus
membunuh, melukai, atau menyakiti orang kafir yang kita temui. Sebagaimana
dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam tafsir beliau di atas, bahwa ada orang kafir
yang wajib diperangi, ada pula yang tidak boleh dilukai.
Menjadikan
surat Al Anbiya ayat 107 sebagai dalil pluralisme agama juga merupakan
pemahaman yang menyimpang. Karena ayat-ayat Al Qur’an tidak mungkin saling
bertentangan.
Bukankah Allah Ta’ala sendiri yang berfirman:
“Agama yang diridhai oleh Allah adalah
Islam” (QS. Al Imran: 19)
Juga firman Allah Ta’ala:
“Barangsiapa mencari agama selain agama
Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia
di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” (QS. Al Imran: 85).
Orang yang mengusung isu pluralisme mungkin menafsirkan
‘Islam’ dalam ayat-ayat ini dengan ‘berserah diri’. Jadi semua agama benar
asalkan berserah diri kepada Tuhan, kata mereka. Cukuplah kita jawab bualan
mereka dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
”Islam
itu engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada sesembahan yang berhak disembah
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad itu utusan Allah, engkau mendirikan
shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan mengerjakan ibadah
haji ke Baitullah jika engkau mampu melakukannya” (HR. Muslim no.8).
Justru surat Al Anbiya ayat 107 ini adlalah bantahan telak
terhadap pluralisme agama. Karena ayat ini adalah dalil bahwa semua manusia di
muka bumi wajib memeluk agama Islam. Karena Islam itu ‘lil alamin‘,
diperuntukkan bagi seluruh manusia di muka bumi. Sebagaimana dijelaskan Imam
Ibnul Qayyim di atas: “Islam adalah rahmat bagi setiap manusia, namun orang
yang beriman menerima rahmat ini dan mendapatkan manfaat di dunia dan di
akhirat. Sedangkan orang kafir menolaknya”.
2.
Berkasih sayang dalam kemungkaran
Sebagian kaum muslimin membiarkan orang-orang meninggalkan
shalat, membiarkan pelacuran merajalela, membiarkan wanita membuka aurat mereka
di depan umum bahkan membiarkan praktek-praktek kemusyrikan dan enggan
menasehati mereka karena khawatir para pelaku maksiat tersinggung hatinya jika
dinasehati, kemudian berkata : “Islam khan rahmatan lil’alamin, penuh
kasih sayang”. Sungguh aneh.
Padahal bukanlah demikian tafsir surat Al Anbiya ayat 107 ini.
Islam sebagai rahmat Allah bukanlah bermakna berbelas kasihan kepada
pelaku kemungkaran dan membiarkan mereka dalam kemungkarannya. Sebagaiman
dijelaskan Ath Thabari dalam tafsirnya di atas, “Rahmat bagi orang mu’min yaitu
Allah memberinya petunjuk dengan sebab diutusnya Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa sallam. Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memasukkan
orang-orang beriman ke dalam surga dengan iman dan amal mereka terhadap ajaran
Allah”.
Maka bentuk kasih sayang Allah terhadap orang mu’min adalah
dengan memberi mereka petunjuk untuk menjalankan perinta-perintah Allah dan
menjauhi apa yang dilarang oleh Allah, sehingga mereka menggapai jannah.
Dengan kata lain, jika kita juga merasa cinta dan sayang kepada saudara kita
yang melakukan maksiat, sepatutnya kita menasehatinya dan mengingkari maksiat
yang dilakukannya dan mengarahkannya untuk melakukan amal kebaikan.
Dan sikap rahmat pun diperlukan dalam mengingkari
maksiat. Sepatutnya pengingkaran terhadap maksiat mendahulukan sikap lembut dan
penuh kasih sayang, bukan mendahulukan sikap kasar dan keras. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa sallam bersabda:
“Tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu,
kecuali akan menghiasnya. Tidaklah kelembutan itu hilang dari sesuatu, kecuali
akan memperburuknya” (HR. Muslim no. 2594)
3.
Berkasih sayang dalam penyimpangan beragama
Adalagi yang menggunakan ayat ini untuk melegalkan berbagai
bentuk bid’ah, syirik dan khurafat. Karena mereka menganggap
bentuk-bentuk penyimpangan tersebut adalah perbedaan pendapat yang harus ditoleransi
sehingga merekapun berkata: “Biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan
mengusik kami, bukankah Islam rahmatan lil’alamin?”. Sungguh aneh.
Menafsirkan rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107 dengan
kasih sayang dan toleransi terhadap semua pemahaman yang ada pada kaum
muslimin, adalah penafsiran yang sangat jauh. Tidak ada ahli tafsir yang
menafsirkan demikian.
Perpecahan ditubuh ummat menjadi bermacam golongan adalah
fakta, dan sudah diperingatkan sejak dahulu oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam. Dan orang yang mengatakan semua golongan tersebut itu
benar dan semuanya dapat ditoleransi tidak berbeda dengan orang yang mengatakan
semua agama sama. Diantara bermacam golongan tersebut tentu ada yang benar dan
ada yang salah. Dan kita wajib mengikuti yang benar, yaitu yang sesuai dengan
ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Bahkan Ibnul Qayyim
mengatakan tentang rahmat dalam surat Al Anbiya ayat 107: “Orang yang
mengikuti beliau, dapat meraih kemuliaan di dunia dan akhirat sekaligus”.
Artinya, Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada orang yang mengikuti
golongan yang benar yaitu yang mau mengikuti ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam.
Pernyataan ‘biarkanlah kami dengan pemahaman kami, jangan
mengusik kami’ hanya berlaku kepada orang kafir. Sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al Kaafirun:
“Katakanlah: ‘Hai orang-orang kafir, Aku
tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang
aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. dan
kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku‘”
Sedangkan kepada sesama muslim, tidak boleh demikian. Bahkan
wajib menasehati bila saudaranya terjerumus dalam kesalahan. Yang dinasehati pun
sepatutnya lapang menerima nasehat. Bukankah orang-orang beriman itu saling
menasehati dalam kebaikan?
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu
benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat
menasehati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr: 1 – 3)
Dan menasehati orang yang berbuat menyimpang dalam agama
adalah bentuk kasih sayang kepada orang tersebut. Bahkan orang yang mengetahui
saudaranya terjerumus ke dalam penyimpangan beragama namun mendiamkan, ia
mendapat dosa. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam:
“Jika engkau mengetahui adanya sebuah
kesalahan (dalam agama) terjadi dimuka bumi, orang yang melihat langsung lalu mengingkarinya,
ia sama seperti orang yang tidak melihat langsung (tidak dosa). Orang yang
tidak melihat langsung namun ridha terhadap kesalahan tersebut, ia sama seperti
orang yang melihat langsung (mendapat dosa)” (HR. Abu Daud no.4345,
dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Perselisihan pendapat pun tidak bisa dipukul-rata bahwa
semua pendapat bisa ditoleransi. Apakah kita mentoleransi sebagian orang sufi
yang berpendapat shalat lima waktu itu tidak wajib bagi orang yang mencapai
tingkatan tertentu? Atau sebagian orang kejawen yang menganggap shalat
itu yang penting ‘ingat Allah’ tanpa harus melakukan shalat? Apakah kita
mentoleransi pendapat Ahmadiyyah yang mengatakan bahwa berhaji tidak harus ke
Makkah? Tentu tidak dapat ditoleransi. Jika semua pendapat orang dapat
ditoleransi, hancurlah agama ini. Namun pendapat-pendapat yang berdasarkan
dalil shahih, cara berdalil yang benar, menggunakan kaidah para ulama,
barulah dapat kita toleransi.
4.
Menyepelekan permasalahan aqidah
Dengan menggunakan ayat ini, sebagian orang menyepelekan dan
enggan mendakwahkan aqidah yang benar. Karena mereka menganggap mendakwahkan
aqidah hanya akan memecah-belah ummat dan menimbulkan kebencian sehingga tidak
sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin.
Renungkanlah perkataan Ash Shabuni dalam menafsirkan rahmatan
lil ‘alamin: “Beliau Shallallahu ‘alaihi Wa sallam memberikan
pencerahan kepada manusia yang sebelumnya berada dalam kejahilan. Beliau
memberikan hidayah kepada menusia yang sebelumnya berada dalam kesesatan.
Inilah yang dimaksud rahmat Allah bagi seluruh manusia”. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat bagi seluruh manusia karena beliau
membawa ajaran tauhid. Karena manusia pada masa sebelum beliau diutus berada
dalam kesesatan berupa penyembahan kepada sesembahan selain Allah, walaupun
mereka menyembah kepada Allah juga. Dan inilah inti ajaran para Rasul.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus rasul
pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah saja, dan jauhilah
Thaghut’ ” (QS. An Nahl: 36)
Selain itu, bukankah masalah aqidah ini yang dapat
menentukan nasib seseorang apakah ia akan kekal di neraka atau tidak? Allah Ta’ala
berfirman:
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan
(sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan
tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang
penolongpun” (QS. Al Maidah: 72)
Oleh
karena itu, adakah yang lebih urgen dari masalah ini?
Kesimpulannya, justru dakwah tauhid, seruan untuk beraqidah
yang benar adalah bentuk rahmat dari Allah Ta’ala. Karena dakwah
tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam
adalah rahmat Allah, maka bagaimana mungkin menjadi sebab perpecahan
ummat? Justru kesyirikanlah yang sebenarnya menjadi sebab perpecahan ummat.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Janganlah kamu termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan
mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa
yang ada pada golongan mereka” (QS. Ar Ruum: 31-32)
Pemahaman
Yang Benar
Berdasarkan penafsiran para ulama ahli tafsir yang
terpercaya, beberapa faedah yang dapat kita ambil dari ayat ini adalah:
a.
Di
utusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam sebagai Rasul Allah
adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh manusia.
b.
Seluruh
manusia di muka bumi diwajibkan memeluk agama Islam.
c.
Hukum-hukum
syariat dan aturan-aturan dalam Islam adalah bentuk kasih sayang Allah Ta’ala
kepada makhluk-Nya.
d.
Seluruh
manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam
e.
Rahmat
yang sempurna hanya didapatkan oleh
orang yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam
f.
Seluruh
manusia mendapat manfaat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
Wa sallam.
g.
Orang
yang beriman kepada ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam, membenarkan beliau serta taat kepada beliau, akan
mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
h.
Orang
kafir yang memerangi Islam juga mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam, yaitu dengan diwajibkannya perang melawan mereka. Karena
kehidupan mereka didunia lebih lama hanya akan menambah kepedihan siksa neraka
di akhirat kelak.
i.
Orang
kafir yang terikat perjanjian dengan kaum musliminjuga mendapat rahmat
dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Yaitu
dengan dilarangnya membunuh dan merampas harta mereka.
j.
Secara
umum, orang kafir mendapat rahmat dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi Wa sallam berupa dihindari dari adzab yang menimpa umat-umat
terdahulu yang menentang Allah. Sehingga setelah diutusnya Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wa sallam, tidak akan ada kaum kafir yang diazab dengan
cara ditenggelamkan seluruhnya atau dibenamkan ke dalam bumi seluruhnya atau
diubah menjadi binatang seluruhnya.
k.
Orang
munafik yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati juga mendapat rahmat
dengan diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam. Mereka
mendapat manfaat berupa terjaganya darah, harta, keluarga dan kehormatan
mereka. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum muslimin yang lain dalam hukum
waris dan hukum yang lain. Namun di akhirat kelak Allah akan menempatkan mereka
di dasar neraka Jahannam.
l.
Pengutusan
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wa sallam menjadi rahmat karena
beliau telah memberikan pencerahan kepada manusia yang awalnya dalam kejahilan
dan memberikan hidayah kepada manusia yang awalnya berada dalam kesesatan
berupa peribadatan kepada selain Allah.
m.
Sebagian
ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini diberikan juga kepada orang kafir
namun mereka menolaknya. Sehingga hanya orang mu’min saja yang mendapatkannya.
n.
Sebagain
ulama berpendapat, rahmat dalam ayat ini hanya diberikan orang mu’min.
Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat-Nya
kepada kita semua, yang dengan sebab rahmat-Nya tersebut kita
dikumpulkan di dalam Jannah-Nya. Alhamdulillahiladzi bini’matihi tatimmush
shalihat..
Semoga Bermamfaat, Shukran Jazakallah Khairan@
0 Response to "Islam Rahmatal Lil'Alamin"
Post a Comment